Direktur Eksplorasi PHE Abdul Mutalib Masdar mengatakan Indonesia masih memiliki potensi migas yang cukup besar, salah satunya di Basin Tarakan. Pihaknya melihat potensi migas di wilayah tersebut akan bisa dioptimalkan dengan kerja keras dan teknologi baru.
"Potensi yang ada di Tarakan Basin yakni lebih dari dua miliar setara minyak (BBOE), sebagian dari potensi ini dimiliki oleh PHE dengan memegang operatorship di empat Wilayah Kerja (WK), yaitu Nunukan, Simenggaris, Maratua, dan East Ambalat," kata Abdul, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Jumat, 6 September 2019.
Pihaknya telah menemukan cadangan migas melalui pengeboran Sumur Parang-1 di Blok Nunukan. Potensi cadangan blok ini diperkirakan mencapai 221 juta barel setara minyak, yang merupakan salah satu dari 10 penemuan migas terbesar di dunia.
Namun potensi cadangan migas besar tidak serta merta membuat pengembangan blok ini dapat dilakukan dengan mudah. Pasalnya, ada tantangan lain dalam pengembangan lapangan migas, utamanya yang mayoritas produksinya adalah gas, yakni ketersediaan pasar yang menyerap gas tersebut. Meski demikian, pengembangan area ini dinilainya penting bagi Indonesia.
"Lokasinya berada di area perbatasan Indonesia dan Malaysia, sehingga bila Pertamina berhasil mengeksplorasi area ini tentu memperkuat otoritas politik Indonesia," ujar dia.
Di sisi lain, pengembangan wilayah luas 68 ribu km2 ini akan memberikan multiplier effect positif bagi perekonomian serta sosial masyarakat.
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mendorong Pertamina untuk segera merampungkan penyusunan rencana pengembangan (plan of development/POD) Blok Nunukan. Pasalnya, dua investor di bisnis petrokimia dan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) siap menyerap gas dari blok di Kalimantan Utara ini.
Pihaknya mendorong pengembangan potensi migas di Kalimantan Utara ini dilakukan secara terintegrasi, yakni menggabung beberapa blok migas sekaligus. Pihaknya mendorong agar kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di wilayah tersebut dapat bekerja sama menggunakan fasilitas bersama dan skema lainnya agar proyek lebih ekonomis.
Dari sisi komersialisasi, integrasi itu akan membuat pihaknya lebih mudah dalam memasarkan gas yang dihasilkan. Pasalnya, dia mencontohkan, industri petrokimia biasanya membutuhkan pasokan gas selama sekitar 20 tahun. Sementara pasokan gas Blok Nunukan hanya bisa menutup kebutuhan untuk 9-10 tahun.
"Justru sekarang kami pikirkan klaster per klaster (pengembangan migas), supaya bisa utilisasi dengan baik fasilitas dan marketnya. Jadi kami tidak hanya mendorong produksi tetapi SKK Migas mencarikan pasarnya juga," jelas Dwi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News