Kondisi ini juga yang membuat Saudi Arabia, sebagai salah satu negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia, mengalami guncangan fiskal. Saudi Arabia, yang 87 persen pendapatannya berasal dari minyak, memprediksi defisit neraca keuangan sebanyak USD87 miliar pada 2016. Pemerintah Saudi pun terpaksa melakukan berbagai efisiensi dan mencari sumber pendapatan baru dari sektor lain.
Persoalan ini tampak seperti gejala menular kepada berbagai pelaku industri migas di Asia. National Oil Company (NOC) asal Tiongkok, China National Petroleum Corporation (CNPC) menyatakan laba bersihnya jatuh 21,6 persen pada semester I tahun ini dengan mencapai USD2,9 miliar.
NOC milik Pemerintah Malaysia, Petronas mengalami penurunan laba sebanyak 72 persen pada Semester I 2016 dengan mencapai 6,2 miliar ringgit. Pertamina masih lebih baik, dengan mencatatkan laba bersih pada semester I-2016 mencapai USD1,83 miliar atau naik 221 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Baca : Semester I-2016, Produksi Migas Pertamina Naik 12,5%
Ketika tren harga minyak dunia tengah turun dan permintaan konsumsi minyak yang menurun akibat perekonomian global yang sedang melambat, Pertamina terus berekspansi untuk mencari ladang minyak baru baik dari dalam maupun luar negeri.
Pencarian cadangan minyak keluar negeri sudah dilakukan Pertamina pada masa Karen Agustiawan, hingga sekarang, yang membuat Pertamina memiliki sebagian kepemilikan kilang migas di berbagai benua seperti Iran, Prancis, Malaysia, Aljazair, hingga Venezuela.
Sejauh ini, kinerja produksi minyak dari ladang minyak luar negeri cukup menggembirakan. PT Pertamina International EP (PIEP), anak usaha PT Pertamina (Persero) di sektor eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di luar negeri, mencatatkan produksi minyak dan gas net to share sebanyak 122,6 ribu barrel minyak per hari atau BOEPD hingga kuartal III 2016 atau naik 7,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang tercatat 113,6 ribu BOEPD.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan dengan menguasai banyak kilang, Pertamina bisa memproduksi banyak migas untuk melayani kebutuhan konsumen dalam negeri sekaligus melakukan ekspor ke negara lain.
"Biayanya keluar dulu dan belum tentu dapat (minyak) di saat kondisi kelebihan pasokan," kata Dwi beberapa waktu lalu seperti diberitakan Minggu (23/10/2016).
Tentu usaha Pertamina ini bukan bebas dari kritik. Di tengah penurunan harga minyak dunia, akuisisi Pertamina di ladang minyak di luar negeri, seperti di Malaysia, turut mengundang kritik karena dianggap tak efisien.
Ekonom Faisal Basri beranggapan bahwa tanpa mengembangkan nilai tambah, akusisi kilang minyak tak memberikan efek positif di tengah tren penurunan harga minyak. Faisal mengritik pembangunan kilang minyak yang kebanyakan berdiri sendiri dan berpotensi merugi jika tak terintegrasi dengan dengan industri petrochemical.
Pertamina tak melupakan supply chain bisnis migas ketika melakukan pencarian kilang produktif. Kerja sama PT Pertamina Internasional Ekplorasi dan Produksi (PIEP) dengan Murphy Sarawak Oil Co, perusahaan migas asal Malaysia, akan dialirkan ke kilang minyak perseroan di Cilacap yang memiliki fasilitas untuk pengembangan bahan petrokimia.
"Pertamina telah melakukan tiga kali lifting minyak dari aset Malaysia dengan volume sekitar 300.000 barel hingga 500.000 barel sekali lifting. Minyak tersebut dikirimkan ke kilang minyak Pertamina, seperti Cilacap," kata Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam.
Pertamina juga menjalin kerja sama dengan Perusahaan minyak asal Iran, Sonatrach dalam proyek-proyek hulu, hilir, dan jasa migas di kedua negara. Mereka membuka peluang pertukaran informasi industri gas alam dan turunannya, termasuk kerja sama di bidang LNG, bisnis minyak mentah, kondensat, petrokimia, LPG, dan optimasi pemasaran migas.
Kontribusi ladang minyak di luar negeri juga mendorong naiknya produksi minyak Pertamina. Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengatakan produksi minyak Pertamina mencapai 305 ribu barel per hari (bph) pada semester I tahun ini. Level produksi tersebut naik 11,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 274 ribu (bph).
"Peningkatan produksi minyak disokong oleh kenaikan produksi minyak dari Irak dan Aljazair," kata Wianda.
Mengelola banyak kilang ditengah penurunan harga juga mengundang pertanyaan sendiri. Bagaimana dengan cost recovery asset yang kerap naik di tengah terus menurunnya harga minyak, apakah ini akan membebani pemerintah?
Nada optimistis datang dari prediksi Bank Dunia yang memperkirakan harga minyak akan terus naik dalam sepuluh tahun mendatang. Bank Dunia memprediksi harga minyak akan mencapai USD78,8 per barel pada 2024. International Energy Agency (IEA) memperkirakan harga minyak dunia akan cepat naik dengan mencapai USD80 per barel pada 2020.
Prediksi kedua lembaga ini tentu lebih baik jika dibandingkan dengan harga minyak West Trade Intermediate (WTI) yang pada Jumat, 21 Oktober 2016, mencapai USD50,85 per barel. Ketika harga minyak naik, negara dengan populasi penduduk yang tinggi dengan konsumsi minyak yang tinggi akan menghadapi banyak masalah.
Ketergantungan terhadap impor minyak malah akan membuat negara yang memiliki karakteristik itu akan menderita secara fiskal karena akan terpaksa memberikan subsidi ke masyarakat.
Persoalan impor minyak ini memang tak bisa dilepaskan dari kandungan minyak dalam negeri yang cenderung lebih mahal, ketika diolah, ketimbang dengan minyak luar negeri seperti dari Timur Tengah. Ini membuat Pertamina harus mengimpor crude oil untuk diolah di dalam negeri.
Impor juga untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional yang tinggi. Pada 2015, kebutuhan minyak nasional sekitar 1,62 juta barel per hari, padahal lifting minyak nasional hanya 820.000 barel per hari.
Akuisisi kilang yang dilakukan Pertamina, dengan berbagai skema, akan mendorong kenaikan produksi minyak Pertamina yang bisa mengurangi beban biaya impor ketimbang hanya membeli minyak dari luar negeri.
Meskipun melakukan pencarian kilang di luar negeri, Pertamina juga melakukan pencarian produksi minyak di dalam negeri. Pembangunan Kilang Tuban dengan Rosfnet, yang diproyeksikan akan mencapai 350.000 barel per hari, bisa menjadi salah satu tumpuan pertamina untuk mengurangi impor BBM.
Direktur Pengolahan Pertamina Rachmad Hardadi sempat menjelaskan bahwa Pertamina akan menambah dua kilang demi memperkuat kedaulatan energi nasional. Hal ini untuk memenuhi permintaan konsumsi BBM di Indonesia yang bisa mencapai 2,6 juta barel per hari dari 2025 sampai 2030.
"Sedangkan sampai dengan akhir 2023 kapasitas seluruh kilang di Indonesia baru mencapai dua juta barel per hari. Jadi, sangat tepat pembangunan kilang itu dilakukan," kata dia.
Pembangunan kapasitas kilang juga sejalan dengan usaha Pemerintah yang tengah mengembangkan sektor infrastruktur dan logistik. Semakin majunya kedua sektor ini, kenaikan permintaan konsumsi BBM juga semakin meningkat. Untuk mendorong penyalurannya, Pertamina membentuk Stasiun Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU) mini untuk menjangkau konsumen di wilayah terpencil.
Mengembangkan geotermal
Pembangunan SPBU menjadi hal penting untuk mendistribusikan pasokan BBM ke seluruh wilayah Indonesia. Target untuk menjaga ketersediaan pasokan minyak juga diimbangi dengan usaha Pertamina yang terus berinvestasi untuk mengembangkan energi terbarukan, seperti geotermal.
Melalui, anak usahanya di sektor panas bumi, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), pada, sepanjang semester I-2016, Pertamina sudah memproduksi listrik sebesar 1.465 GWh dari tiga PLTP. Angka itu sudah mencapai setengah dari proyeksi akhir tahun yang mencapai 3.084 Giga Watt Hour (GWh).
Energi terbarukan panas bumi bisa mengurangi impor migas, mengingat besarnya potensi panas bumi di Indonesia. Pertumbuhan energi terbarukan juga akan mendukung usaha pemerintah dalam mencapai target dalam rencana jangka panjang nasional.
Peraturan Presiden (perpres) Nomor 5 tahun 2006 mengenai kebijakan energi kebijakan energi nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional menargetkan kontribusi minyak mencapai 20 persen dari total konsumsi energi nasional pada 2025. Sebagian sisanya akan dikontribusikan dari energi terbarukan.
Angka ini masih jauh dari ideal. Data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2015 memaparkan bahwa konsumsi minyak masih menghuni 38 persen dari konsumsi energi nasional. Investasi dalam energi konvensional dan terbarukan juga diikuti dengan usaha pertamina melakukan efisiensi.
"Kebijakan perusahaan adalah memotong opex (operating expense) dan capex (capital expenditure), kita terpaksa mengencengkan ikat pinggang," tegas Dwi.
Efisiensi bukan hanya dari upaya menekan biaya operasional, melainkan dari menekan biaya impor minyak. Langkah ini dilakukan Pertamina yang bekerja sama dengan SIETCO (Shell International Eastern Trading Company) dengan skema Crude Processing Deal (CPD) untuk mengelola minyak mentah kilang pertamina dari Irak (Basrah Crude), yang belum bisa diolah kilang dari dalam negeri.
"Target kita satu juta barel setara minyak per bulan. Ini langkah mengurangi impor langsung," kata Dwi.
Solusi seperti ini dibutuhkan untuk mengurangi impor minyak mentah di tengah tingginya investasi pengolahan minyak didalam negeri, yang membutuhkan mitra kerja yang kompeten dan dana investasi yang tinggi. Kedua hal yang sulit diwujudkan ditengah melambatnya perekonomian global.
Majalah Forbes, dalam laporan 500 perusahaan terbesar di dunia 2016, menuliskan Pertamina berada pada peringkat 230 dari 500 perusahaan dunia dengan perkiraan aset sebanyak USD45 juta.
Peringkat Pertamina memang terlampau jauh dengan NOC lainnya. Namun dengan langkah akuisisi serta efiensi yang tepat, Pertamina bisa membangun kedaulatan energi sekaligus mengejar ketertinggalan dari pesaingnya di skala global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id