Hal itu menjadi tema besar pembicaraan NOC ASEAN yang tergabung dalam ASCOPE (ASEAN Council on Petroleum) dalam pertemuan ke-40 yang digelar sejak 25 November 2014 hingga kemarin di Kuta, Bali.
"Sektor energi akan memiliki peranan penting bagi terciptanya proses integrasi kawasan melalui agenda besar Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC)," ujar Plt Direktur Utama Pertamina Muhamad Husen.
Karena itu, imbuhnya, untuk memperkuat sektor energi di kawasan diperlukan konektivitas dan integrasi pasar energi sehingga Asean dapat mencapai ketahanan energi, aksesibilitas, daya beli, serta keberlanjutan pasokan energi.
"Sejalan dengan ini, NOC ASEAN, termasuk Pertamina berkomitmen untuk mewujudkan ketahanan energi di kawasan ASEAN sehingga memudahkan masing-masing negara mendapatkan akses sumber energi untuk memperkuat ketahanan energi nasional," kata Husen.
Sejatinya, lanjut Husen, kerja sama energi telah mencakup berbagai lini, mulai dari rencana stok minyak regional, jaringan pipa gas bersama, transmisi listrik hingga kerja sama pengeboran migas.
"Yang sudah berjalan itu pengeboran bersama, seperti proyek tripartit di blok migas Randugunting, Blora (Jawa Tengah). Di sana Pertamina menggandeng Petronas, Malaysia dan Tan Dung Vietnam berbagi saham, 40 persen Pertamina dan masing-masing 30 persen untuk kedua NOC tetangga itu," tutur Husen.
Sebaliknya, Pertamina mendapat saham 30 persen di blok 10/11.1 milik Vietnam dan blok SK 305 di Malaysia.
Pertemuan ini juga membahas penyusunan peta Trans Asean Gas Pipeline (TAGP) yang telah memiliki jaringan transportasi gas sekitar 3.377 km, dan dilengkapi dengan informasi baru berupa terminal gas alam cair (LNG) di beberapa negara ASEAN.
"Untuk TAGP sudah lebih maju dibanding di dalam negeri karena sesungguhnya jalur pipa dari Jakarta sudah terhubung dengan Singapura-Kuala Lumpur-Bangkok dan nantinya ke Filipina. Nantinya bisa perdagangan gas lewat pip. Targetnya sesegera mungkin terwujud " tukasnya.
Salah satu kerja sama yang hingga kini belum terwujud adalah pembentukan cadangan minyak regional dalam kerangka perjanjian keamanan minyak (ASEAN Petroleum Security Agreement/Apsa).
"Intinya kesepakatan itu untuk saling membantu pasokan minyak bila terjadi kondisi darurat dengan parameter kekurangan minimal 10 persen dari kebutuhan nasional selama 30 hari berturut-turut," katanya.
Namun hingga kini perjanjian itu belum berjalan lantaran banyaknya perbedaan pendapat soal konsep keamanan energi nasional masing-masing anggota.
"Sejak ditandatangani lima tahun lalu belum berjalan. Sudah ada Perpres tapi belum diratifikasi DPR. Sekarang sedang dibahas prosedur lebih detil," ucapnya.
Selain itu, Ascope juga telah menjadi jembatan bagi terciptanya aktivitas perdagangan minyak dan produk di antara sesama anggota. Salah satunya adalah momentum bagi anak perusahaan seperti PT Pertamina Drilling Service Indonesia (PDSI) untuk memperkenalkan sekaligus menawarkan jasa dan teknologi migas.
"Rig (menara pengeboran) berjalan buatan PDSI seperti yang dipakai di Banyu Urip (Blok Cepu)menghasilkan minyak dan gas lebih banyak dan lebih cepat. Rig yang kami buat itu diminati Kamboja," ujar Direktur Utama PDSI, Farid Rudiono.
Sejak beroperasi di 2011, PDSI telah memiliki 42 rig dan menargetkan bisa memiliki 50 unit di 2018 untuk pengeboran di darat (onshore). "Kami siap untuk membuat rig lepas pantai (offshore). Rig PDSI juga dipakai untuk pengeboran blok migas Pertamina di Aljazair, harganya sekitar USD29 juta per unit," katanya.
Di kesempatan yang sama, Husen menegaskan kembali kesiapan Pertamina untuk mengelola wilayah kerja Mahakam 100 persen setelah habis masa berlaku kontrak pada 31 Desember 2017.
"Saya sudah mengirim surat resmi kepada Menteri ESDM perihal Kesiapan Pertamina Mengelola Blok Mahakam hari ini (kemarin). Itu penegasan kembali minat Pertamina untuk mengelola Blok Mahakam yang telah disampaikan kepada pemerintah sejak 2008," katanya.
Sebagai pertimbangan bagi pemerintah, Husen menyatakan Pertamina memiliki kemampuan secara teknis dan finansial untuk mengelola Blok Mahakam.
"Pertamina terbukti memiliki kapabilitas operasi lepas pantai dengan kesuksesan meningkatkan produksi secara signifikan di blok Offshore North West Java dan West Madura Offshore" ujarnya.
Untuk itu pihaknya berharap pemerintah segera memutuskan Pertamina sebagai pengelola Blok Mahakam agar ada transisi operasi yang cukup.
Saat ini, tim Pertamina sedang melakukan data room Blok Mahakam untuk memahami kondisi teknis dan operasional dari wilayah kerja tersebut.
Pertamina selanjutnya akan mengirimkan proposal pengelolaan Blok Mahakam secara komprehensif dalam waktu tiga bulan mendatang.
"Sejauh ini Total cukup kooperatif. Pertamina siap terima Total sebagai mitra secara business to business bila mereka berminat dan diizinkan pemerintah karena pengalaman Total mengelola Mahakam selama 50 tahun akan membantu dalam operasional Pertamina saat menjadi operator Blok Mahakam," katanya. (Jajang Sumantri)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News