Ilustrasi. AFP PHOTO/JEAN-SEBASTIEN EVRARD
Ilustrasi. AFP PHOTO/JEAN-SEBASTIEN EVRARD

Proyeksi Energi 2020

Tarik Ulur Penyesuaian Tarif Energi Jadi Bom Waktu

Suci Sedya Utami • 02 Januari 2020 09:15
Jakarta: Pemerintah membatalkan penaikan tarif dasar listrik yang awalnya direncanakan dilakukan mulai 1 Januari 2020. Pembatalan untuk menyesuaikan tarif ini bukan yang pertama kali terjadi sebab sebelumnya pemerintah pun pernah melakukan hal serupa.
 
Namun patut diperhatikan penundaan kenaikan tarif bisa jadi bom waktu bagi pemerintah di masa mendatang. Pembatalan penyesuaian tarif nantinya bisa menyebabkan pembengkakan bagi anggaran negara karena buah dari akumulasi penundaan.
 
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa mengatakan keputusan untuk menyesuaikan tarif merupakan kewenangan pemerintah dengan persetujuan DPR. Apabila pemerintah dan DPR sepakat untuk menaikkan tarif utamanya untuk golongan 900 volt amphere (VA) Rumah Tangga Mampu (RTM) maka seharusnya dieksekusi.
Sebab, menurut Faby, ketika keputusan tersebut tertunda akan kembali membebani PT PLN (Persero). Pasalnya keuangan perusahaan setrum itu tidak dalam kondisi yang sehat salah satunya karena harus menjalankan penugasan untuk tidak melakukan penyesuaian tarif.
 
Sebetulnya kajian dan evaluasi penyesuaian tarif dilakukan setiap tiga bulan. Namun sejak pertengahan 2018 , pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan penyesuaian tarif pada golongan tersebut dengan alasan menjaga daya beli di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.
 
Alhasil golongan 900 VA RTM hingga kini  masih membayar dengan tarif yang sama seperti golongan 900 VA rumah tangga miskin yakni sebesar Rp1.352 per kilo watt hour (kWH).
 
Di sisi lain, kata Faby, biaya produksi PLN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pelanggan golongan tersebut. Biaya produksi saat ini mencapai sekitar Rp1.400-Rp1.500 per kWH. Artinya PLN menanggung selisih atau gap antara biaya produksi dan tarif pelanggan.
 
"Jika 900 VA tidak dilakukan penyesuaian, dengan tarif Rp1.352 itu sebenarnya tidak menutupi biaya produksi. Masih ada gap yang harus ditanggung PLN," kata Faby pada Medcom.id.
 
Tidak hanya untuk golongan 900 VA saja, namun juga golongan di atas 900 VA pun saat ini tak kunjung dilakukan penyesuaian. Faby mengira hal tersebut ditahan lantaran hajatan politik Pemilihan Presiden (Pilpres). Namun, hingga pesta demokrasi itu usai, penyesuaian tarif tidak kunjung dilakukan.
 
Hal ini pun dinilai tak baik bagi finansial PLN karena harus menanggung beban. Pasalnya untuk golongan 900 VA RTM, contohnya, pemerintah tidak mengkover selisih tersebut dalam bentuk subsidi. Subsidi listrik yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperuntukkan bagi golongan 900 VA rumah tangga miskin dan 450 VA.
 
Apalagi Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara telah menegaskan akan tetap mengucurkan anggaran subsidi listrik sesuai UU APBN 2020 sebesar Rp54,8 triliun. Selisih tersebut, menurut Faby, digantikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah pada PLN karena menjalankan penugasan.
 
Kompensasi bisa diberikan dalam bentuk kucuran dana, pemotongan pajak atau dividen bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjalankan penugasan. Kompensasi tersebut sebenarnya telah ditetapkan pada 2018.
 
Faby mengatakan di tahun tersebut, dalam catatannya PLN mengalami kerugian sekitar Rp18 triliun salah satunya akibat penugasan. Tetapi pemerintah memberikan kompensasi Rp23 triliun untuk menutup kerugian, dan sisanya Rp5 triliun dicatatkan sebagai keuntungan.
 
Namun sayangnya dalam APBN 2020, anggaran kompensasi tersebut tak terlihat dialokasikan. Bahkan, pembayaran kompensasi 2018 pun menurut Faby belum sepenuhnya dicairkan. Di sisi lain, ruang PLN untuk melakukan efisiensi dalam hal produksi maupun operasional kini makin terbatas.
 
Belum lagi, di tahun-tahun ke depan ruang anggaran PLN makin sempit seiring dengan cicilan utang atau pinjaman untuk membangun infrastruktur kelistrikan yang kini mulai berjalan. Namun PLN juga harus menanggung kelebihan kapasitas akibat permintaan listrik tidak setinggi seperti yang direncanakan.
 
Oleh karenanya, Faby mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan kesehatan finansial perusahaan listrik pelat merah itu. Sebab jika selalu menunda penyesuaian tarif maka ibarat menggeser beban keuangan dari tahun yang satu ke tahun setelahnya.
 
Bukan hanya berdampak bagi PLN dan negara, beban bom waktu itu juga bisa mengenai masyarakat jika terjadi akumulasi kenaikan tarif seperti cukai hasil tembakau (rokok) yang tahun ini naik dengan tarif yang lumayan tinggi karena tahun sebelumnya tidak dilakukan penyesuaian.
 
"Pemerintah sebenarnya menumpuk-numpuk beban terus, bebannya digeser dari 2018 ke 2019, lalu ke 2020, begitu seterusnya. Nanti akumulasi di ujung semakin besar. Jika finansial PLN bermasalah ujungnya pemerintah juga yang kena, pemerintah sebaiknya enggak menumpuk bom waktu," tutur dia.
 
Pemerintah diminta untuk menyisir dan memetakan ulang data pelanggan 900 VA RTM berdasarkan tingkat pendapatan dan ekonomi. Jika memang dari sisi pendapatan tidak terjadi penurunan karena ketidakpastian ekonomi maka sebaiknya penyesuaian tarif perlu dilakukan.
 
Lagipula, kata Faby, penyesuaian apabila naik, peningkatannya hanya 7-8 persen atau sekitar Rp110 per kWH. Ia menilai besaran tersebut tidak terlalu signifikan bagi pelanggan rumah tangga. Sedangkan bagi PLN, kenaikan tersebut sangat berarti dan lumayan besar untuk menyelamatkan finansial mereka apabila diakumulasikan dalam waktu satu tahun.
 
Menurut data PLN per 31 Oktober 2019, jumlah pelanggan 900 VA RTM tercatat sebanyak 22,1 juta. Pada tahun ini diproyeksikan angkanya bertambah menjadi 24,4 juta sejalan dengan program pemasangan dan penyambungan listrik gratis.
 
"Bagi PLN lumayan terasa karena nilainya triliunan kalau dalam satu tahun dan itu bisa membantu PLN dalam mengurangi beban finansial dan cash flow," jelas Faby.
 
Tarik ulur tarif energi juga tak hanya di sektor kelistrikan, sektor minyak dan gas bumi (migas) pun demikian. Contohnya saja PT PGN (Persero) yang diminta untuk menunda menaikkan harga gas untuk pelanggan komersial industri. Awalnya PGN berencana menaikkan harga pada 1 November lalu, namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta kenaikan tersebut ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan.
 
Lagipula kenaikan biaya tersebut diperuntukkan untuk pengembangan infrastruktur dan keandalan pasokan. Hingga saat ini, sebagai subholding gas bumi, PGN telah membangun jaringan gas hingga lebih dari 10 ribu kilometer.
 
Panjang pipa gas PGN ini hampir dua kali lipat dibandingkan jaringan gas milik Malaysia dan Thailand, serta empat kali lipat lebih panjang daripada jaringan gas di Singapura. Sedangkan di Tiongkok jaringan pipa yang terbangun mencapai lebih dari 40 ribu kilometer.
 
Hal yang sama juga terjadi pada harga BBM. Pemerintah hingga kini masih menahan untuk menaikkan harga BBM untuk penugasan premium dan juga BBM subsidi biodiesel atau bio solar.
 
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan semestinya harga BBM sudah seharusnya dilakukan penyesuaian sejalan dengan perbaikan harga minyak dan juga bahan bakar nabati (BBN) kelapa sawit sebagai campuran solar B20 dan B30.
 
Saat ini, disebutkan Komaidi, harga BBN sudah di atas Rp12.000 per liternya atau setara dengan BBM jenis pertamax turbo. Jika tetap dijual dengan harga di kisaran saat ini maka otomatis membutuhkan subsidi yang lebih besar per liternya.
 
Sementara subsidi BBM jenis solar telah dipatok Rp1.500 per liternya dalam APBN 2020. Artinya selisih harga jual ditambah dengan subsidi yang dikover pemerintah dan harga keekonomian harus ditanggung oleh PT Pertamina (Persero). Sedangkan untuk jenis premium sudah tidak masuk dalam jenis yang disubsidi.
 
Artinya Pertamina juga yang harus menanggung beban keuangan meski pemerintah memberikan kompensasi dari penugasan tersebut. "Itu yang tidak sehat, bukan hanya solar, yang lebih parah premium. Premium kan penugasan tapi masih ditahan. Dulu kan mengamanatkan setiap tiga bulan dievaluasi," ujar Komaidi.
 
Lebih jauh, dirinya memandang, pemerintah mesti mengevaluasi lagi selama ini apakah penundaan atau penahanan harga tersebut menjadi bantuan untuk mendorong daya beli dan katalis bagi pertumbuhan ekonomi atau hanya menjadi beban bagi anggaran negara.
 
"Kalau (penahanan) dicabut kira-kira seperti apa, kemudian pilihan risiko yang paling minim. Semua kebijakan ada risikonya dan tidak bisa menyenangkan semua pihak. Yang paling banyak menyenangkan yang mana, itu yang diambil," tegas Komaidi.
 
Berdasarkan data Pertamina per 16 Desember lalu, harga premium sebesar Rp6.450 per liter dan bio solar Rp9.800 per liter.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id

(ABD)



LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif