Jokowi mengungkapkan, deregulasi ekonomi tersebut di antaranya adalah penyederhanaan serta pembenahan perizinan, peraturan yang tumpang tindih, termasuk deregulasi Daftar Negatif Investasi (DNI).
"Kami terus melakukan perbaikan, kami terus lakukan reform, yang kami lakukan di Indonesia adalah supply-side reforms," tegas Jokowi, saat menyampaikan pidato kunci (keynote speech) pada acara US-ASEAN Business Council (US-ABC) yang dilaksanakan di Ballroom Hotel St. Regis, San Francisco, California, AS, Rabu, seperti dikutip dalam siaran persnya, Kamis (18/2/2016).
Jokowi mengatakan, konsep ini pertama diperkenalkan oleh Ronald Reagan saat menjabat sebagai Gubernur Negara Bagian California yang bersama-sama dengan Perdana Menteri Inggris waktu itu, Margareth Thatcher, memberlakukan deregulasi ekonomi Inggris dan AS.
"Saat ini, kita harus memberlakukan kebijakan yang sama di emerging markets, yakni membebaskan bisnis dan industri dari Undang-undang dan peraturan yang berlebihan," ucap Presiden.
Sejak awal tahun ini, menurut Presiden, perekonomian global mengalami perlambatan. Banyak emerging markets mengalami penurunan. Banyak yang mengkhawatirkan ini akan berdampak pada ekonomi maju. Pada kondisi ini, Presiden menilai bahwa Bank Sentral Dunia memang harus menyediakan likuiditas yang diperlukan oleh dunia. Namun, lanjut Presiden,
"Pemerintah dan perusahaan di seluruh dunia tidak boleh menunda tindakan-tindakan nyata dan aksi mendasar," tambah dia.
Reformasi struktural, investasi jangka panjang yang tidak berfokus pada langkah-langkah jangka pendek yang populis merupakan tindakan yang seharusnya diambil dan membutuhkan waktu.
"Saya yakin tidak ada jalan pintas. Zamannya sudah berbeda jika dibandingkan dengan era Bapak Reagan dan Ibu Thatcher," ujar Jokowi.
Namun demkian, pada era mereka ancamannya adalah deflasi. Pada era mereka kesalahan yang terjadi ialah pemungutan pajak yang berlebihan. Kini kesalahannya ialah kurangnya pemungutan pajak, khususnya pada emerging markets.
"Dibanyak negara kebijakan fiskal yang buruk akan membuat negara kehilangan sumber daya yang dibutuhkan untuk investasi masa depan, anak anak kita, anak muda kita, dan infrastruktur kita," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News