"Bila Pertamina ditunjuk sebagai holding energi yang di bawahnya termasuk PLN, enggak ada masalah, holding kan sifatnya hanya mengkoordinir," kata Pengamat Kebijakan Energi Sofyano Zakaria, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (30/10/2016).
Dia menuturkan, sejauh ini holding energi masih dalam tahap penjajakan dan evaluasi, karena belum ada keputusan berupa SK atau peraturan pemerintah (PP) yang menunjuk Pertamina sebagai induknya. Penujukkan Pertamina sebagai holding energi butuh aturan hukum yang jelas.
"Yang dibutuhkan payung hukum bahwa Pertamina merupakan induk holding energi yang membawahi migas, listrik, panas bumi, dan lain-lain," imbuh Sofyano.
Direktur Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara menjelaskan holding energi merupakan holding raksasa atau super holding. Menurut dia, Indonesia bisa meniru Hasanah di Malaysia atau Temasek di Singapura. Kedua holding raksasa negara tetangga itu terbukti efisien dan bisa bersaing di tingkat dunia.
Namun demikian, sebelum masuk holding raksasa harus diperkuat dulu holding masing-masing sektor. Dia mengatakan, Kementerian BUMN sudah merupakan holding besar, tapi kalau sektor belum ada holdingnya sehingga yang ada adalah persaingan yang kurang sehat.
"Misal antara PGN dan Pertagas ada duplikasi pembangunan sarana, tapi ada juga sarana yang tidak dibangun. implikasinya bisa menyebabkan harga gas mahal karena adanya persaingan," tutur Marwan.
PLN bisa saja berada di bawah holding energi dengan koordinator Pertamina, tapi kondisinya tidak mendesak untuk saat ini. Yang dibutuhkan sekarang adalah peran pemeritah agar kinerja PLN bisa mengaliri listrik seluruh Indonesia dengan tarif murah.
"Tentu memerlukan biaya, 65 persen biaya tersebut digunakan untuk biaya energi primer (solar, gas, batu bara). Nah pemerintah seharusnya berperan untuk mengatur harga energi ke PLN agar bisa lebih murah," ucap Marwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News