Ekonom Didik J. Rachbini, yang juga Ketua Umum Yayasan Wakaf Paramadina mengungkapkan, krisis energi bukan sesuatu yang mengada-ngada dan untuk menyelesaikan persoalan ini dibutuhkan pemimpin yang capable dan tegas guna menubah krisis menjadi suatu keuntungan bagi bangsa Indonesia.
Didik mengungkapkan, komite ekonomi nasional sebenarnya sejak awal sudah setuju untuk menyesuaikan harga BBM. Namun karena tidak adanya keinginan presiden untuk melakukan penyesuaian harga, maka komite sebagai penasihat presiden tidak dapat berbuat apa-apa.
"Jadi ini adalah warisan yang diberikan dari pemerintah yang lama kepada pemerintah yang baru sekaligus ujian bagi pemerintahan yang baru, jika sanggup akan berjalan dengan baik namun jika tidak maka akan morat marit," kata dia di Jakarta, Sabtu (11/10/2014).
Saat ini, tambah Didik, prioritas utama bukan lagi untuk meningkatkan produksi minyak tetapi merasionalkan konsumsi dikarenakan pertumbuhan ekonomi kita yang tinggi. Untuk rasionalisasi konsumsi diakui Didik bukanlah sesuatu yang biasa dengan cara tidak dikurangi sekaligus dan lebih kepada dikurangi secara bertahap.
Meski begitu dari sekian banyak saran dan alternatif yang dapat dilakukan oleh pemerintah yang sekarang untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM tak satu pun yang dilakukan dikarenakan ketidak beranian pemerintahan yang sekarang untuk mengambil langkah yang tidak populis.
"Biaya untuk pemerintahan populis itu bisa mencapai Rp1.000 triliun, Rp600 triliun gaji pegawai, biaya subsidi Rp400 triliun sisanya untuk dana lain-lain," jelasnya.
Selain dibutuhkan pemimpin yang tegas dan capable juga dibutuhkan suatu peraturan undang-undang yang kuat agar kebijakan energi konsisten untuk kedepannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News