Paulus mencontohkan Brazil yang gencar memproduksi bioethanol meski harganya lebih mahal empat kali lipat daripada harga bensin. Pemerintah Indonesia harus meniru tindakan pemerintah Brazil yang memiliki visi jauh ke depan terkait ketahanan energi negaranya.
"Karena mereka punya pemikiran jauh ke depan. Sekarang di negara kita ini banyak yang pemikirannya pendek," ucap Paulus saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (17/3/2015).
Yang menjadi tantangan penerapan BBN di Indonesia saat ini adalah adanya kesediaan pemerintah untuk memberikan alokasi dana terhadap selisih harga BBN dan solar. Dana untuk menutup selisih harga biodisel dan solar, lanjutnya, sudah pernah dilakukan pada 2008 hingga 2013.
"Nah 2013 kita berhenti karena defisit neraca perdaganan. Mulai oktober lalu kan solar jatuh harganya. Pemerintah tidak mau alokasi dana. Itu politik saja," kata Paulus.
Dengan formula harga indeks pasar (HIP) BBN yang akhirnya ditetapkan oleh pemerintah, Paulus menuturkan harga itu sudah terbilang memadai karena telah menggunakan harga patokan CPO. Sebelumnya, HIP BBN menggunakan formula harga 103,48 persen MOPS solar.
"Saat ini harga pasar CPO sekitar USD640 per ton. Jadi Harga BBN USD640+USD188 per ton. Kalau per liter dikalikan 0,87. Itu untuk per 1000 liter," ucapnya.
Artinya, perkiraan harga BBN berada di kisaran USD720,36 per 1000 liter atau USD0,72 per liter (Rp9.364 per liter).
Harga itu dinilai Paulus memang tidak memadai jika pemerintah atau masyarakat membandingkan dengan harga BBM. Katanya, pemerintah tidak akan bisa mencapai ketahanan energi jika harus selalu membandingkan harga. Yang terpenting, lanjutnya, harus ada kesediaan terlebih dahulu oleh pemerintah untuk mendorong produksi biodisel meluas di dalam negeri.
Dengan penerapan B15, dampak yang dirasakan nantinya akan menjalar ke industri biodisel, mulai dari petani kelapa sawit hingga produsen biofuel. Di samping itu, pemerintah juga akan mendapat pajak yang besar jika industri biofuel dalam negeri bisa berkembang.
"Dampak 10 persen saat ini sudah dirasa signifikan untuk industri biodisel. Nantinya, kalau industri biodisel hidup, pajak juga diperoleh pemerintah. Pajak korporat sekarang 25 persen dari keuntungan. Mereka juga akan terima pajak besar dari itu," cetusnya.
Untuk kontrak penjualan biofuel oleh Aprobi kepada PT Pertamina (Persero) pada tahun ini masih dihentikan. Pasalnya, belum ada suplai mengingat harga solar sedang turun. Tahun lalu jumlah penjualan biofuel kepada Pertamina mencapai 1,5 juta kilo liter (KL).
Pertamina sendiri menyatakan kesiapannya untuk menjalankan mandatory 15 persen. Sejauh ini, memang BUMN energi itu belum mampu menyediakan B10 secara merata di seluruh wilayah nasional.
"Benar, 2014 belum semua 10 persen. Alasannya, di daerah remote belum siap suplai famenya. Ambon, Timor, NTT, Papua kan susah dapat fame," ujar Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang melalui pesan singkat.
Data darinya, untuk B10, dibutuhkan BBN sebesar 3,3 juta KL. Hitungan itu diperoleh dari jumlah solar PSO dan industri yang masing-masing sejumlah 16,5 juta KL dan 17 juta KL kemudian dikalikan 10 persen.
Artinya, untuk mencapai B15 dibutuhkan sekitar 4,95 juta KL BBN yang akan dicampur dengan solar.
Bambang juga menuturkan fame yang juga termasuk kandungan BBN menambah biaya produksi biodisel. Untuk B10, setiap penambahan 10 persen fame, biaya naik Rp450 per liter. Dengan demikian, untuk B15, tambahan biaya produksi biodisel bertambah menjadi Rp675.
Adanya penambahan biaya itu, kata Bambang, Pertamina akan menunggu kebijakan pemerintah.
"Harga akan ditambahkan untuk harga jual biodisel non-PSO, sedangkan untuk PSO ya tunggu dari pemerintah. Kita sekarang sedang proses pengadaan famenya. Kita ikut saja. Pokoknya harus siap," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News