Pengusaha lebih memilih menjual hasil produksi bijih nikel ke luar negeri atau ekspor ketimbang menjualnya ke dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan ada tiga alasan pengusaha enggan menjual ke dalam negeri pada perusahaan pengelola fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter).
Pertama, terkait dengan harga. Meidy bilang perusahaan smelter yang beroperasi di Tanah Air yang bukan merupakan perusahaan tambang mematok harga sangat rendah. Bahkan, Meidy bilang tidak manusiawi.
Ia mencontohkan apabila diekspor, perusahaan smelter di luar rela untuk mengeluarkan uang sekitar USD60-USD80 per ton untuk mendatangkan bijih nikel mulai dari pelabuhan hingga pabrik smelter yang jaraknya bisa ditempuh hingga 2-3 hari. Sementara perusahaan smelter di dalam negeri paling mentok, kata Meidy, hanya USD20 per ton.
"Padahal smelter kita letaknya ada di bibir pelabuhan, dekat dengan pelabuhan. Kalau menjual bijih nikel ke domestik, mereka menentukan harganya tidak manusiawi," kata Meidy di DPP APNI, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2019.
Kedua, terkait dengan kadar nikel yang diminta perusahaan smelter dalam negeri di atas 1,8 persen. Apabila di bawah kadar itu, maka harganya akan terus berkurang.
"Sudah menentukan harga lebih rendah, namun mintanya kadar yang lebih tinggi," tutur dia.
Ketiga, terkait dengan permainan penentuan kadar oleh surveyor. Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya (Citra Buana).
Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara. Namun pembeli, dalam hal ini perusahaan smelter, justru menunjuk Intertek perusahaan di luar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel. "Sementara pihak pembeli smelter pakainya surveyor Intertek," ujar Meidy.
Dengan mekanisme yang ada saat ini, pelaku usaha tambang juga dikuasai empat perusahaan smelter raksasa yang melakukan kertel terhadap harga bijih nikel memanfaatkan penggunaan surveyor yang berbeda dari yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
Hal ini dipandang tidak adil oleh pelaku pertambangan nikel. dia bilang, seharusnya pengusaha smelter menggunakan surveyor yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Namun karena pembeli diibaratkan seperti raja, maka mereka seolah-olah bisa bebas memilih surveyor sendiri.
Pengusaha pertambangan menilai adanya permainan surveyor juga dikarenakan tidak adanya pengawasan pemerintah sehingga pengusaha smelter menggunakan surveyor lain.
"Seharusnya pemerintah hadir dalam perdagangan, kita anggap ini enggak adil, mereka menentukan seenak mereka, karena mengganggap pembeli adalah raja," tegas dia.
Selama ini ada empat perusahaan asing yang memiliki smelter dengan kapasitas besar di Indonesia adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry, PT Sulawesi Mining Investment, PT Huadi Nickel Alloy, dan Harita Nickel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News