Connie mengatakan, perbedaan pendapat antara pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui SKK Migas yang mengusulkan menggunakan kilang LNG terapung (floating LNG) atau offshore dan pihak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang mengusulkan menggunakan skema kilang LNG di darat (onshore LNG) mengakibatkan terus tertundanya Plan of Development (PoD).
"Ini menunda terus. Secara ekonomi akan tergerus dan Inpex akan berpikir ini sudah tidak make sense lagi. Dampaknya lay off deh. Baru berantem di media saja, 65 persen karyawan sudah mau di-lay off," ungkap Connie, dalam diskusi, di Gedung Nusantara V, Komplek Parlementer, Senayan, Jakarta, Selasa (2/3/2016).
Menurutnya, tidak ada kejelasan rampungnya PoD membuat legalitas atas blok yang berada di lepas pantai laut Arafura, Maluku, itu tidak jelas. Itu yang menjadi alasan Inpex enggan berkomitmen untuk kelola blok itu.
"Jadi ini legalitas aspek kita tidak jelas. Komitmen juga tidak jelas. Padahal yang namanya perusahaan perlu kejelasan," kata dia.
Connie menuturkan, proyek Blok Masela bukanlah proyek jangka pendek. Bahkan, Inpex pun sudah mengeluarkan investasi besar untuk proyek itu. Namun, tiba-tiba muncul perdebatan ini. "Jadi, yang terjadi sekarang itu dampak dari itu semua," tutur dia.
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi pernah menuturkan, yang terjadi bila pemerintah memutuskan pengelolaan fasilitas pengembangan blok yang berada di lepas pantai laut Arafura, Maluku, ini dilakukan dengan skema onshore, maka Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) eksisting dalam hal ini Inpex akan melepas investasinya.
"Jadi so far Inpex menyatakan kalau onshore tidak investible. Jadi tidak layak untuk investasi," jelas Amien.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News