"Mengenai penyimpangan, ini saya sendiri ikut menyaksikan bagaimana praktik-praktik itu berjalan terutama di daerah-daerah," kata Arifin ditemui di kantor Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, Jakarta Selatan, Senin, 30 Desember 2019.
Pendistribusian Jenis BBM Tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi jenis minyak solar dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) jenis premium merupakan program tahunan sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada masyarakat belum mampu khususnya di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal. Kebijakan ini lun dimaksudkan agar masyarakat kurang mampu agar peningkatan perekonomiannya terakselerasi.
"Antara permintaan dan ketersediaan ini setelah melalui proses bermacam-macam proses perhitungan selalu ada defisit. BPH Migas juga sampaikan masih banyak penyimpangan terjadi," ungkapnya.
Meski perlu waktu agar pengawasan BBM subsidi bisa tepat sasaran, eleminasi masalah perlu ditanggulangi. Pro aktif masyarakat mengawasi penyalahgunaan BBM bersubsidi di tiap SPBU jadi kunci terpenting.
"Imbauan kepada masyarakat untuk turut mengawasi, imbauan kepada para pelaku untuk cepat menyadari, kemudian juga imbauan kepada stakeholder di daerah untuk memberikan dukungan terhadap pengawasan," paparnya.
Arifin juga berkomitmen mendorong pemanfaatan teknologi dengen menerapkan digitalisasi nozzle untuk pengawasan BBM bersubsidisubsidi di tingkat pengecer. Saat ini, realisasinya sebanyak 2.740 SPBU telah menerapkan program digitalisasi nozzle dari 5.518 SPBU yang ditargetkan rampung pada 2020
"Kita akan menggunakan manfaat teknologi, menerapkan sistem pengawasan yang berdasarkan elektronik yang disebut digitalisasi nozel, ini sudah dilakukan separuh, dan harapannya 2020 bisa selesai semua," ungkapnya.
Usulan BPH Migas dalam merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 191/2014 tentang konsumen penerima BBM bersubsidi bakal segera ditindaklanjuti. Satu di antara sektor yang perlu dikurangi yakni alokasi untuk lokomotif kereta barang milik PT KAI (Persero) lantaran dinilai telah mengedepankan aspek bisnis ke bisnis.
"Kedepan kita bisa melakukan koreksi terhadap alokasi subsidi, butuh upaya semua pihak dan tanggung jawab dalam mendukung peningkatan ekonomi masyarakat di daerah terpencil," ucap Arifin.
Kuota BBM bersubsidi dipastikan bakal kembali mengalami kelebihan kuota dari alokasi yang ditetapkan pemerintah di 2020. Selain penambahan kuota yang minim, penyaluran tidak tepat sasaran penerima subsidi masih jadi kendalanya.
Kepala Badan Pengatur Hulu Migas (BPH) Migas Fanshurullah Asa memaparkan BBM bersubsidi tahun 2020 sebagaimana tertuang dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 sebanyak 15,87 juta kilo liter (KL) yang terdiri dari minyak solar 15,31 juta KL dan minyak tanah sebesar 0.56 juta KL. Alokasi tersebut hanya mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 810 KL atau 5 persen.
Kondisi di 2020 dipastikan tak akan jauh berbeda dengan 2019 yang kuota BBM subsidinya ditetapkan sebesar 14,5 juta KL. Hingga penghujung tahun penyalurannya sudah tembus hampir 16 juta KL dan membuat kelangkaan solar terjadi di beberapa daerah.
"Data ini kalau mengacu 2019 saja naik hanya 810 KL atau 5 persen, padahal di 2019 data yang kami verifikasi dari Pertamina itu sudah potensinya sampai 29 Desember kelebihan 1,28 juta KL, lebih kurang Rp2,58 triliun," ungkap Fansurullah.
Dana sebesar Rp2,5 triliun tersebut mesti ditanggung PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang menerima penugasan. Besaran yang sama pun diprediksi bakal terjadi untuk kuota BBM subsidi 2020.
"Hanya 15,3 ribu KL bertambahnya, kalau mengacu tadi, dan pertumbuhan ekonomi yang sama, maka akan terjadi potensi over kuota lagi 700 ribu KL," paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News