Hal tersebut dicantumkan dalam kesimpulan rapat dengar pendapat antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
"Komisi VII memperhatikan kesiapan dan kesanggupan ExxonMobil Cepu Ltd, meminta SKK Migas menyetujui peningkatan lifting dari 165.000 bph menjadi 200.000 bph," kata Ketua Komisi VII DPR-RI, Gus Irawan Pasaribu, di Komplek Parlementer, Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2016).
Namun, Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi menjelaskan, SKK Migas telah memutuskan produksi ExxonMobil atas lapangan Banyu Urip sebesar 165.000 bph.
"Terkait produksi banyu urip. Di surat kami Produksi di tingkat 165.000 bph. Memang Exxon mengajukan untuk lebih dari 205.000 bph. Tapi Juni kita dapat surat ada 12 poin sehingga kami putuskan 165.000 bph," jelas Amien.
Amien menuturkan, produksi sampai 205.000 bph akan kurang menguntungkan karena adanya sliding scale split. Jadi dengan produksi puncak 165.000 bph pemerintah akan mendapatkan pendapatan USD82 juta lebih tinggi dibandingkan dengan skenario produksi 205.000 bph.
"Salah satunya split, kemudian terkait dengan DMO holiday dari diskusi SKK Migas akan kurang menguntungkan bila diproduksinya melebihi yang sekarang," ucap Amien. Apalagi, lanjut Amien sampai hari ini Kemenkeu masih memiliki hutang sebesar USD133 juta dari DMO holiday.
Sementara itu, Anggota Komisi VII Fraksi Partai Golkar, Dito Ganinduto tetap mendesak produksi lapangan Banyu Urip untuk bisa mencapai 200.000 bph.
"Pak Luhut firm kalao lifting bisa 200.000 bph. Beliau bilang bisa. Ternyata ada persoalan ini. Pak Amien harus kasih penjelasan ke menteri," kata Dito.
Di lain sisi, diakui Presiden Direktur ExxonMobil, Daniel Wieczynski, ExxonMobil mampu untuk mencapai produksi tersebut.
"Kita sudah siap untuk menyerahkan untuk 2017 rate 200.000 bph. Partner-partner kami dari blok Cepu sudah siap untuk menyerahkan target 200.000 bph tersebut," ucap Daniel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News