"Masalah utama penjualan BBM oleh Pertamina yang lebih mahal ini karena Pertamina sendiri tidak pernah terbuka. Berapa cost-nya dan berapa untungnya. Pertamina jual BBM di SPBU malah mahal, sementara yang dijual di perusahaan lebih murah," kata Enny, Rabu (20/1/2015).
Menurut dia, solar seharusnya sudah tidak lagi disubsidi karena harganya terus menurun. Tapi, kata Enny, terkadang Pertamina dan pemerintah lambat menurunkan harga saat harga minyak dunia terus menurun. Berbeda jika harga minyak dunia naik.
Seperti diberitakan, harga minyak dunia terus merosot di bawah USD30 per barel. Bahkan harga Means of Platts Singapore (MOPS) untuk jenis solar saat ini sudah menyentuh harga USD40 per barel. Jika dirupiah dan diliterkan, harga keekonomian solar berdasarkan MOPS adalah Rp3.500 per liter (belum termasuk biaya pengangkutan dan pajak).
Jika dihitung ongkos kirim USD3 per barel (Rp300/liter) dan PPN 10 persen (Rp380/liter) ditambah PBBKB 5 persen (Rp190/liter) maka harga solar nonsubsidi di Indonesia berkisar Rp4.370-Rp4.500 per liter. Tapi kenyataannya, harga Solar subsidi sampai saat ini Rp5.750 per liternya (harga keekonomian: Rp6.750 per liter) ada selisih harga Rp2.380 dari harga keekonomian (selisih Rp1.380 dari harga subsidi).
Sekretaris Perusahaan AKR Corporindo, Suresh Vembu, mengatakan murahnya harga jual solar industri tak lepas dari turunnya harga minyak (gasoil) Singapura yang selama ini menjadi acuan pembentukan harga solar perseroan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News