Sebuah keputusan berani dan tidak populis yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia. Pria yang biasa disapa Jokowi ini siap tidak populer dan siap bertanggung jawab dengan keputusannya tersebut.
Menurutnya, subsidi BBM sektor konsumtif sudah saatnya dialihkan untuk subsidi ke sektor-sektor produktif. "Selama ini negara membutuhkan anggaran untuk infrastruktur untuk membangun pendidikan dan kesehatan. Namun anggaran ini tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM," ujar Jokowi saat pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu.
Sebagai bentuk pengalihan nyata subsidi BBM, tak beberapa lama kemudian, pemerintah mengeluarkan tiga 'kartu sakti' untuk rakyat kurang mampu yakni Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Sebenarnya, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi sudah didengung-dengungkan sejak tahun terakhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan banyak pihak sudah mendesak SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum lengser dari pemerintahannya.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo adalah tiga dari sekian banyak pihak yang mendesak SBY untuk berani menaikkan BBM bersubsidi.
"Penyerapan anggaran subsidi BBM saat ini tidak tepat sasaran karena lebih dinikmati masyarakat menengah ke atas. Padahal, anggaran yang dialokasikan untuk subsidi setiap tahunnya mencapai 20 persen. Salah satu cara agar penyerapan anggaran efektif dengan mengurangi subsidi. Kita harus bisa mengelola subsidi energi ini agar lebih baik karena administered prices umumnya yang selalu mendorong inflasi," ujar Agus Martowardojo di bulan Mei lalu untuk mendesak kenaikan harga BBM bersubsidi .
Sedangkan mantan Ketua Apindo, Sofjan Wanandi mendesak SBY menaikkan BBM bersubsidi karena menurutnya subsidi tersebut sebaiknya dialihkan untuk rakyat kurang mampu dan membangun infrastruktur yang masih buruk. "Saya pikir sebaiknya naikkan harga BBM saja. Daripada subsidi dinikmati oleh orang kaya, lebih baik subsidi langsung pada rakyat. Uangnya dipakai untuk infrastruktur, membangun jalan. Itu lebih gampang pengawasannya," tukasnya beberapa bulan sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi.
Bahkan, Badan Anggaran DPR RI pernah meminta SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.000-Rp1.500/liter di tahun ini untuk menyelamatkan APBN P 2014. "Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.000 itu seharusnya dilakukan per 1 Agustus lalu jika tidak ada gugatan Mahkamah Konstitusi (MK). Katakanlah naik lagi Rp1.000 (per liter) lagi di 2015, jadi Rp2.500 (asumsi tahun ini naik Rp1.500), maka akan ada dana Rp100 triliun, itu sudah cukup signifikan untuk menunjang BPJS, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dana desa Rp1 miliar satu desa," ucapnya di bulan Agustus 2014.
Desakan tersebut jelas terlontar dari banyak pihak sebab selama ini anggaran BBM bersubsidi yang mencapai Rp330 triliun dari total APBN Rp2.019 triliun, telah 'mencekik' APBN dan menyebabkan defisit pada neraca perdagangan serta neraca keuangan.
Sayangnya, SBY terlalu takut untuk mengambil kebijakan tak populis tersebut dan memilih untuk bungkam dengan semua desakan banyak pihak. SBY terlalu takut kehilangan popularitasnya daripada mengambil langkah tegas menyelamatkan defisit anggaran pada APBN.
Di era kepemimpinannya, SBY pernah menaikkan harga BBM sebanyak empat kali dan menurunkannya satu kali. Kenaikan pertama terjadi pada 1 Maret 2005 karena lonjakan harga minyak dunia. Waktu itu pemerintah menaikkan harga BBM 32 persen untuk BBM premium dari Rp1.810 menjadi Rp2.400 per liter dan solar dari Rp1.650 menjadi Rp2.100 per liter atau 27 persen.
Kenaikan kedua terjadi di tahun yang sama, pada 1 Oktober 2005. Harga premium naik dari Rp2.400 menjadi Rp4.500 per liter atau naik 87 persen dan harga solar naik dari Rp2.100 menjadi Rp4.300 per liter atau naik 105 persen.
Berikutnya berselang tiga tahun kemudian, SBY kembali menaikkan harga BBM bersubsidi pada 24 Mei 2008. Premium naik menjadi Rp6.500/liter dari sebelumnya di patok Rp4.500/liter. Namun karena besarnya penolakan rakyat, SBY menurunkan kembali harga BBM bersubsidi pada November dan Desember 2008 dan 2009 hingga premium menjadi Rp4.500/liter. Pertengahan tahun 2013, tepatnya 17 Juni, SBY kembali menaikkan harga premium Rp2.000/liter menjadi Rp6.500/ liter.
Hingga kini pro dan kontra kenaikan harga BBM bersubsidi terus bergulir di masyarakat. Namun pemerintah tak goyah dan berubah pikiran. Bahkan masih terus berupaya meminimalisir efek dan dampak kenaikan harga BBM serta menahan laju inflasi dan harga agar tak melambung tinggi. Pengalihan anggaran subsidi BBM pun terus dilakukan dengan fokus utama pada kelancaran penyaluran dan penggunaan tiga kartu sakti serta pembangunan infrastruktur yang memadai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News