"Hal menarik (dalam rapat) ternyata harga produksi BBM dari semua kilang yang ada di Indonesia dari yang paling tua di Plaju dan paling muda di Sorong lebih mahal dari pada harga impor BBM," tutur anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Agung Wicaksono, seusai rapat bersama Petral dan Pertamina, di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (17/12/2014).
Namun, Agung menolak jika kilang ditutup dan hanya bergantung dari impor demi efisiensi biaya. "Energi enggak cuma soal hitung-hitungan harga tapi juga soal ketahanan energi. Jika kita hanya impor dan tak pakai kilang lalu harga minyak dunia naik, itu bahaya," tegasnya.
Solusinya, lanjut Agung, Tim Reformasi Tata Kelola Migas akan segera merekomendasi pembenahan masalah kilang.
"Pertamina sudah menyampaikan serangkaian rencana untuk melakukan renovasi atau modernisasi (semua kilang). Rencananya renovasi tersebut dilakukan selama lima tahun ke depan sampai 2019 dengan dana USD25 miliar. Diharapakan nanti Pertamina bisa lebih fleksibel dan bisa menurunkan ongkos secara signifikan selesai program lima tahun tersebut," beber Agung.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, VP Corcom Pertamina, Ali Mundakir membeberkan alasan mahalnya harga BBM yang diolah dalam kilang negeri karena faktor usia kilang.
"Kilang Pertamina ini sudah tua dan didesain untuk mengolah crude Indonesia yang sebagian besar adalah jenis sweet dan light. Sehingga harga lebih mahal. Padahal biaya pokok produksi BBM itu 93 persen komponennya adalah minyak mentah," terang Ali.
Jika program modernisasi kilang sudah selesai, Ali meyakini kilang Pertamina bisa mengolah minyak dengan kandungan sulfur atau sour dan heavy crude lebih tinggi.
"Sour dan heavy crude harganya lebih murah. Kalau dari bahan baku bisa ditekan tentu biaya pengadaan yang tadi disampaikan bisa ada efisiensi," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News