Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto menjelaskan, penyediaan tenaga listrik yang memadai sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara, sekaligus sangat berperan sebagai penggerak roda perekonomian suatu negara. Dengan ketersediaan pasokan listrik yang memadai, maka industri akan tumbuh, baik industri kecil, menengah, maupun besar.
Untuk itu, PLN membutuhkan dukungan dana yang cukup besar, yakni mencapai Rp1.000 triliun. Dana ini tak hanya berasal dari PLN tapi juga dari pihak lain.
Saat ini PLN sudah memperoleh pendanaan melalui beberapa model, seperti obligasi, pinjaman bank, penerusan pinjaman atau Subsidiary Loan Agreement (SLA), pinjaman dengan export credit agency (ECA), dan listrik swasta.
Meski demikian, karena terkendala Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Perbankan dan sumber-sumber pendanaan Nasional, PLN berinovasi mencari alternatif pendanaan lainnya. Salah satu alternatif pendanaan tersebut adalah dengan mentransformasi aset finansial menjadi efek yang disekuritisasi.
"Model-model pendanaan yang sudah ada memiliki keterbatasan, sehingga PLN perlu memperluas sumber pendanaan. Salah satu alternatif model pendanaan lain adalah melakukan sekuritisasi aset atau Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA)," kata Sarwono dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu 11 Juni 2017.
Sarwono mengatakan, rencana sekuritisasi atau EBA yang dilakukan PLN dengan cara mengonversi pendapatan di masa depan menjadi surat berharga untuk mendapatkan cash di awal. Adapun, yang dijadikan dasar sekuritisasi adalah future cash flow dari pendapatan PT Indonesia Power, anak perusahaan PLN di bidang pembangkitan listrik.
Aset yang disekuritisasi merupakan aset keuangan, yaitu piutang penjualan listrik yang dihasilkan oleh salah satu pembangkit PT Indonesia Power, Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya. PLTU ini memiliki kapasitas 3.400 Mega Watt (MW) dan berkontribusi sekitar 12 persen pada sistem Jawa Bali. Masa manfaat PLTU Suralaya masih 20 tahun lagi.
Dengan begitu, diperkirakan revenue stream PLN per tahun sekitar Rp300 triliun. Hal ini akan menjadi jaminan/quarantee dari kontrak investasi, yang sebagiannya berasal dari prepaid dari pelanggan sebesar 12 persen.
Dalam satu tahun, ia menambahkan, penerimaan transaksi listrik PLTU Suralaya sebesar Rp12 triliun yang terbagi atas beberapa komponen, yaitu Pengembalian Investasi; Pemeliharaan; Bahan Bakar; dan Pelumas, Kimia, Air, dan lain sebagainya. Komponen Pengembalian Investasi ini yang menjadi pengembalian dari pinjaman dari KIK-EBA ini. Dalam kontrak PPA ini, nantinya akan mendapatkan Rp2,5 triliun per tahun dari hasil penjualan sebesar Rp12 triliun tersebut.
"Sangat tepat bagi para investor untuk berinvestasi pada struktur EBA ini, karena memiliki tingkat risiko yang jauh lebih rendah, mesin pembangkitnya sudah tersedia dan jaminan transaksinya jual-belinya sudah pasti oleh PLN dimana dalam jangka waktu 5 tahun kedepan sebesar Rp10 triliun akan dikembalikan dalam bentuk PPA/kontrak jangka panjang yang sudah pasti," jelas Sarwono.
Sarwono menegaskan, tidak ada aset tetap PLN yang dijual dalam sekuritisasi aset. Aset pembangkit masih menjadi milik Indonesia Power dan tetap dicatat di buku konsolidasi PLN sebagai induk perusahaan, dengan kata lain tidak terjadi perpindahan aset tetap.
"Demikian juga dengan kepemilikan saham, dengan sekuritisasi aset ini tidak ada pengalihan saham ataupun privatisasi. Pemerintah tetap sebagai pemilik saham PLN seratus persen. Dan PLN pun tetap sebagai pemilik saham Indonesia Power," tegas Sarwono.
Nantinya dana yang diperoleh dari sekuritisasi EBA ini akan digunakan untuk membangun proyek infrastruktur kelistrikan Indonesia.
"Kita rencanakan tenor 5 tahun untuk sekuritisasi aset ini," pungkas Sarwono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News