Padahal, dalam Pasal 3 Ayat 2 Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Biofuel Sebagai Bahan Bakar Lain, badan usaha pemegang izin usaha niaga bahan bakar wajib menggunakan biofuel sebagai bahan bakar lain secara bertahap.
Menteri ESDM Sudirman Said mengungkapkan, semua aturan yang dikeluarkan wajib dijalankan oleh yang bersangkutan. Maka itu, perlu adanya pengawas lapangan agar pelaksanaan kebijakan pencampuran biodiesel ke solar sebanyak 20 persen (B20) berjalan sebagaimana mestinya.
"Itu policy yang tetap dijalankan meski dapat challange karena harga BBM sedang rendah. Memang seharusnya ada kontrol di lapangan. Nanti lewat PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)," ujar Sudirman di kantornya, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Juni.
Dia menjelaskan, pengawasan pelaksanaan kebijakan B20 yang dilakukan PPNS akan melihat laporan yang disampaikan badan usaha kepada Kementerian ESDM. Tapi yang paling penting, kata dia, adalah badan usaha yang ditugaskan melaksanakan mandatory B20 tersebut harus melaporkan pengunaan biodiesel sebagai campuran solar yang dijualnya.
"Kita punya PPNS yang akan digunakan untuk melihat laporan itu. Yang paling penting, kita terima laporan dari Pertamina karena dia user yang paling besar," pungkas Sudirman.
Perilaku badan usaha yang enggan mencampur produk solarnya dengan biodiesel membuat harga solar mereka lebih murah dibandingkan solar subsidi. Akhirnya, penjualan solar nonsubsidi untuk industri jauh lebih murah dengan selisih Rp100 hingga Rp650 per liter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News