"Tujuannya bagus, supaya ada industri downstream dari produksi mineral supaya ada hilirisasi. Karena mewajibkan semua penambang untuk membangun smelter. Padahal biaya pembangunan smelter lumayan mahal USD1 sampai dengan USD1,5 miliar," kata Rizal usai menghadiri diskusi di Hotel Grand Mercure, Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta, Senin (22/2/2016).
Menurutnya kewajiban pembangunan smelter itu terlalu memberatkan perusahaan tambang kecil. Karena bila dihitung dari financialnya pun, perusahaan tambang kecil tidak akan mampu membangun smelter.
"Jadi jelas banyak dari penambang tak akan mampu bangun smelter krn gak memenuhi minimum ekonomic of skill production," ujar dia.
Oleh karena itu, lanjut Rizal perlu ada pengkajian lebih mendalam dan bukan hanya wacana terkait usulan ini.
"Tapi yang lain harus di review undang-undangnya. Karena imposibble yang kecil-kecil bangun smelter," pungkas dia.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan relaksasi ekspor mineral mentah (ore) berpotensi diperbolehkan kembali bila tercantum pada revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Menteri ESDM, Sudirman Said mengatakan demikian lantaran kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral mentah (smelter) hingga kini belum ada yang menunjukan kemajuan signifkan.
"Relaksasi dimungkinkan apabila di Undang-Undang yang barunya membolehkan. Dan ini menjdi pokok pembahasan kata realistis itu tadi. Banyak smelter tidak selesai, pengusaha alami kesulitan," kata Sudirman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News