Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja. (FOTO: MTVN/Annisa Ayu Artanti)
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja. (FOTO: MTVN/Annisa Ayu Artanti)

Jika Kuasai Kendala Ini, Indonesia Akan Nikmati Gas Blok Natuna

Annisa ayu artanti • 01 Juli 2016 09:53
medcom.id, Jakarta: Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan Indonesia memiliki ladang gas terbesar di dunia. Ladang gas itu berada di Blok East Natuna. Berdasarkan analisis geologi dan hasil pengeboran, diperkirakan cadangan gas di Blok East Natuna sebanyak 46 trilion Cubic Feet (TCF).
 
Namun, sayangnya banyak tantangan untuk mengelola ladang gas tersebut. Direktur Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengatakan, gas di Blok East Natuna itu sangat besar totalnya 222 TCF. Tapi, sebagian besar yakni 72 persen adalah karbondioksida (CO2) dan hanya 46 TCF cadangan gas yang bisa terpakai. Ini yang menjadi salah satu kendalanya.
 
"Cadangangan gasnya ada low case dan high case itu artinya ada most likely. Dari analisis geologi dan pengeboran diperkirakan 46 TCF gas yang bisa dipakai. Kalau gas totalnya 222 TCF. Tapi jangan lupa 72 persen Co2," kata Wirat, di Kantor Ditjen Migas, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (30/6/2016) malam.

Untuk mengolah blok gas yang sangat besar itu, menurut Wirat, sangat dibutuhkan investasi yang sangat besar. Pasalnya, bukan hanya karena lokasinya berada di remote area. Kompleksifitas blok East Natuna ini sangat rumit.
 
"Satu investasi sangat besar sekali dibutuhkan. Di samping lokasi remote dan kemudian kompleksifitas subsurface dan yang penting ini besar sekali," ucap Wirat.
 
Kedua, terkait dengan komposisi kandungan gas. Seperti diketahui kandungan gas di blok East natuna kebanyakan adalah Co2, butuh teknologi yang super canggih dan murah tentunya untuk memisahkan kandungan Co2 dengan gas yang bisa terpakai.
 
"Kalau ini kita produksikan ini akan menjadi lapangan Co2 terbesar di dunia. Ini kompleksitasya. Tantangannya adalah bagimana mengembangkan teknologi pemisahan Co2 yang relatif murah. yang saat ini ada cukup mahal," jelas Wirat.
 
Bila dipaksakan dengan teknologi yang ada saat ini, nantinya produksi gas yang dihasilkan harganya akan tergolong mahal. Kemudian, lanjut Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini adalah untuk mengelola blok East Natuna harus memiliki perlakuan khusus. Harus ada satu area untuk melakukan injeksi.
 
"Jadi Co2 yang hasilnya besar ini kita perlu cari cekungan-cekungan untuk injeksikan. Jadi perlu injeksi. Pemrosesan khusus juga kita lakukan," ujar Wirat.
 
Rencananya pemrosesan akan dilakukan di tengah laut atau terapung, sebab posisi sangat jauh dari pulau-pulau terdekat. Butuh pipa yang sangat panjang kalau ingn dipaksakan pemrosesan dilakukan di darat.
 
Namun, bila mampu melalui kendala-kendala ini, maka Indonesia akan memiliki produksi gas yang sangat besar. Jaringan gas Natuna barat akan masuk ke Batam kemudian masuk sistem jaringan great Sumatera-Jawa. Lalu bila pembangunan pipa trans Kalimantan terwujud, gas akan dialirkan untuk memenuhi kebutuhan smelter. Semua itu akan mendorong perekonomian Indonesia.
 
"Misalkan kita berhasil membangun ini, maka jaringan Natuna Barat masuk ke Batam masuk ke jaringan Great Sumatera-Jawa. dan kalau kita berhasil memproduksi gas lebih banyak lagi kita akan masuk ke Kalimantan. Sehingga cita-cita membangun pipa transKalimantan akan terjadi," tutup dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan