Wilayah Kerja migas non konvensional. Dokumen SKK Migas
Wilayah Kerja migas non konvensional. Dokumen SKK Migas

Indonesia Belum Siap Eksplorasi Shale Gas

Renatha Swasty • 26 November 2014 15:02
medcom.id, Jakarta: Keinginan mengekploitasi gas non konvensional guna menggantikan gas konvensional terus digalakkan. Salah satunya keinginan mengeksploitasi shale gas, sayangnya Indonesia disebut belum siap melakukannya.
 
Direktur Gas Bumi BPH Migas Joko Siswanto mengatakan, shale merupakan jenis gas baru di mana tersimpan jauh di dalam batuan. Guna mengambilnya diperlukan pengeboran yang berbeda dari biasanya yakni menggunakan pengeboran horizontal dengan teknik jet.
 
Di Indonesia, menurutnya sudah ada dua tempat yang berpotensi memiliki shale gas, yakni Sumatera dan Kalimantan. Namun, dari penelitian di beberapa tempat belum ditemukan sisi ekonomisnya.

"Di beberapa tempat sudah di bor tapi belum terlihat nilai ekonomisnya," kata Joko dalam diskusi bertajuk 'Membangunkan Raksasa Tidur Shale Gas' yang digelar majalah offshore di The Only One Club FX, Jakarta Selatan, Rabu (26/11/2014).
 
Pada kesempatan yang sama, pengamat energi Rovicky Putrohari mengatakan, pemanfaatan shale gas akan sangat menguntungkan. Sebab, bila biasanya dalam pengambilan gas konvensional dari batuan hanya menyerap 30 persen, mengambil shale gas dari batuan bisa menyerap 60-70 persen yang tidak terserap dari pengambilan gas konvensional.
 
Dengan shale gas saja, Rovicky menyebut Amerika bisa menjadi produsen minyak terbesar mengalahkan Saudi Arabia. Meski begitu, ada banyak kendala yang dihadapi untuk mengambil shale gas.
 
Salah satunya saat pengeboran, guna mengambil shale gas diperlukan perekahan batu yang membutuhkan air dan pasir dalam jumlah besar. Sekali merekah saja, Rovicky mengungkapkan perlu truk kontainer isi air sekitar 5-9 juta galon. Tak hanya itu, diperlukan pula pasir yang berguna menyanggah batu-batuan yang sudah direkahkan.
 
"Kalau di sini, saya bawa truk begitu berat mungkin akan dimarahi dinas pekerjaan umum (PU) saya," tukasnya.
 
Sementara itu, untuk melakukan itu semua lebih dulu diperlukan riset. Sebab, sekali lagi kata dia mengambil shale gas tak seperti mengambil gas konvensional biasa.
 
"Amerika melakukan riset sejak 1953, baru pada tahun 2000 dia melakukan eksplorasi dan proven. Butuh waktu 40 tahun untuk melakukannya. Maka saya katakan pada pemerintah supaya jangan membuat shale gas ini rencana jangka pendek, tetapi jangka panjang," cetusnya.
 
Di Indonesia secara ekonomis belum dibuktikan, tantangan besar melakukan eksplorasi shale gas ialah butuh riset banyak. Hal ini juga diamini anggota komisi VII DPR RI Satya Yudha, dia menyebut pemerintah jangan terburu-buru mengambil keputusan untuk mengeksploitasi barang baru yang belum tentu berhasil.
 
Dia mencontohkan yang terjadi pada perkembangan geotermal. Awalnya ada keyakinan bisa menghasilkan 27.000 mega watt (MW) dari pengolahan geotermal, namun nyatanya belakangan keinginan itu direvisi, karena merasa tak mampu mencapai pasokan listrik 27.000 MW.
 
Meski ada potensi 574 TCF shale gas di Indonesia, Satya tetap belum yakin Indonesia mampu melakukannya.
 
"Saya pesimis apa kita dapat melakukannya, karena ada gejala di Indonesia. Yang saya alami sendiri geotermal, kurang apa kita geotermal, ring of fire, waktu itu yakin akan membuat 27.000 MW belakangan minta direvisi, jangan 27.000," pungkas Satya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WID)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan