Menanggapi pertanyaan tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Elia Massa Manik sebagai nakhoda perusahaan energi pelat merah terbesar di Indonesia tidak menjadikannya sebagai beban.
Dalam wawancara khusus bersama Metrotvnews.com, Massa justru menuturkan di umur Indonesia yang tidak muda lagi, seharusnya pola pikir mengenai kemandirian energi sudah berubah dan semakin terbuka.
Seperti salah satunya mengenai impor energi dari luar negeri. Menurutnya, ketika Indonesia mengimpor Bahan Bakar Minyak (BBM) atau minyak mentah (crude oil) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak serta merta diartikan Indonesia tidak berdaulat energi.
"Kita kan bicara mandiri energi, tentu pengertiannya kalau kebutuhannya 1,6 juta barel kita bisa menyediakan sendiri. Kita tidak impor. Jangan kita berpikir kalau kita kirim dari satu negara kita impor," kata Massa di Jakarta, Rabu 16 Agustus 2017.
Massa menjelaskan, dalam rencana perseroan di 2025 yang tertuang dalam cetak biru (blue print) bahwa masa depan Pertamina akan menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). Artinya, Pertamina harus mengepakkan sayap mencari energi dimana pun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjadi penggerak perekonomian. Tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Termasuk impor.
"Bagaimana mewujudkannya, satu yang harus kita miliki adalah sumber daya. Sumber itu ada di dalam dan di luar," ucap dia.
Massa menambahan, selama ini tidak melulu Indonesia murni melakukan impor. Ada energi yang dibawa ke Indonesia yang merupakan hasil dari kerja sama dengan negara sahabat atau hasil dari produksi ladang minyak Pertamina di luar negeri.
Tak hanya itu, mantan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (holding) tersebut juga mengatakan, impor bukan hanya dilakukan oleh Pertamina melainkan negara-negara lain juga melakukan hal yang sama.
Biasanya, cara yang dipakai negara-negara lain untuk mendapatkan energi di luar negeri atau impor adalah dengan melakukan investasi membeli ladang minyak di luar negeri dan menjadi operator. Lalu, ikut dalam hak partisipasi namun tidak menjadi operator dengan begitu bisa menukarkan atau mengambil bagian dalam bentuk barang seperti BBM dan minyak mentah.
"Contoh kita lihat negara-negara lain tetangga kita, mereka itu cadangannya 60 persen ada dari luar. Di luar negaranya sendiri. Jadi dia cari minyak di luar," imbuh dia.
Hal tersebut yang rencananya akan digenjot oleh Pertamina kedepannya. Saat ini kontribusi hasil ladang minyak Pertamina di luar negeri masih sebesar 20 persen dari total produksi. Sementara produksi hulu migas semester I tercatat sebesar 692 ribu barel MBOEPD. Terdiri dari minyak 343 MBOPD dan gas 2.022 juta kaki kubik (MMSCFD).
"Ini yang kita akan dorong ke depan. Jadi Pertamina harus bisa mengidentifikasi ladang-ladang itu (luar negeri) mana yang low risk, mana yang medium risk, dan high risk," ungkap dia.
Ia pun melanjutkan kemandirian energi juga tidak melulu tercermin dari bisa atau tidaknya perusahaan minyak nasional mengelola ladang-ladang migas sendirian. Hal itu ditekankan Massa sebab, dalam bisnis migas ada risiko besar yang ditanggung. Sementara dengan berpartner risiko-risiko tersebut dapat dibagi.
"Nanti ke depan, kita evaluasi dan kita tentukan seperti yang saya katakan tadi. Kita musti banyak berpartner. Kita musti banyak melakukan partnership," tutup dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News