Hal itu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Independent Power Producer (IPP) batu bara lokal. Pasalnya, kemungkinan besar perusahaan batu bara lokal tidak mampu melakukannya karena sumber dana tidak ada.
Ditambah lagi dengan terus merosotnya harga komoditas batu bara yang membuat enggan para pengusaha untuk melakukan eksplorasi.
"APBI-ICMA dan PWC juga menemukan ada keterbatasan sumber pendanaan domestik untuk pembiyaan proyek IPP yang meningkatkan risiko dominasi perusahan asing dalam program kelistrikan nasional 35 ribu mw," kata Pandu P. Sjahrir saat konferensi pers di Kantor APBI, Menara Kuningan, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (7/3/2016).
Salah satu solusinya, Pandu menyebutkan dengan menggunakan pendanaan dari luar, seperti biaya asuransi (cost of insurance) dan dana pensiun.
"Salah satunya solusinya adalah coba kita cari pendanaan lain, kita bilang bisa dari dana pensiun, asuransi, itu yang harus kita gerakan," ucap dia.
Untuk biaya asuransi, Pandu mengusulkan pemerintah akan membayar sekitar satu persen dari tarif dasar listrik yang sebesar kurang lebih Rp1.400 per kWh jika diterapkan untuk PLTU baru yang akan beroperasi pada 2019 atau sekitar tiga persen jika termasuk PLTU yang telah dibangun di tahun-tahun sebelumnya.
"Dengan begitu terjadi keseimbangan antara jaminan pasokan dan biaya," ujar dia.
Lalu, Pandu menambahkan, perlu didorong keterlibatan dana pensiun dan perusahaan asuransi dan lembaga pemerintahan lainnya sebagai sumber pendanaan domesik dalam investasi proyek infrstruktur termasuk pembangkit listrik.
"Kalau pemerintah oke ya sudah, laksanakan, amankan," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News