Visi energi berkeadilan ini di antaranya diwujudkan dengan program pemerataan dan distribusi BBM Satu Harga hingga ke seluruh pelosok, perluasan infrastruktur jaringan gas untuk rumah tangga, dan peningkatan rasio elektrifikasi yang ditargetkan mencapai 99,9 persen pada 2019.
Demi mewujudkan keadilan energi di seluruh wilayah Indonesia, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mencanangkan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh mahalnya harga BBM di beberapa daerah, terutama di Indonesia bagian Timur. Daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) menjadi fokus pemerintah dalam mengimplementasikan program BBM Satu Harga.
Guna mendukung kebijakan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional.
Permen ini mengamanatkan agar Badan Usaha penyalur BBM mendirikan penyalur di lokasi tertentu yaitu lokasi-lokasi yang belum terdapat Penyalur Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan, sehingga masyarakat dapat membeli BBM dengan harga jual eceran yang ditetapkan Pemerintah. Target Kebijakan BBM satu harga yaitu pembangunan sekitar 150 lembaga penyalur hingga tahun 2019.
Tak cuma itu, untuk mendorong implementasinya Kementerian ESDM menerbitkan regulasi turunan, yaitu Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Migas terkait lokasi untuk pendistribusian jenis BBM tertentu dan BBM khusus penugasan secara bertahap dari tahun 2017 hingga 2019. SK Dirjen Migas dengan Nomor 09.K/10/DJM.O/2017 tersebut mengatur 148 lokasi yang penugasannya diberikan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo, Tbk.
“Terkait kebijakan BBM Satu Harga, secara volume kecil sekali. Hingga hari ini, kebijakan BBM Satu Harga sudah diterapkan di 133 kecamatan di pelosok Tanah Air yang dahulu tidak memiliki SPBU. Targetnya, 170 kecamatan hingga akhir 2019,” ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan pada diskusi Energi untuk Kedaulatan Negeri, di Jakarta, Selasa, 2 April 2019.
Dari segi volume, total konsumsi BBM untuk masyarakat di luar industri sebesar 27 juta kilo liter setahun. Jumlah konsumsi BBM tersebut merupakan gabungan dari solar atau gas oil dan bensin.
“Sementara, untuk melayani BBM satu harga di 170 titik besarannya tidak sampai 1 juta kilo liter. Mungkin hanya sekitar 100 ribu kilo liter setahun. Jadi, dampak (fluktuasi harga minyak dunia) terhadap kebijakan BBM Satu Harga ini sebenarnya tidak ada,” ujar Jonan.
Selain BBM, pemerintah fokus mengupayakan pemerataan kelistrikan hingga pelosok Indonesia. Diakui Jonan, Indonesia dengan 17 ribu pulau di mana 8 ribu di antaranya berpenghuni, menyebabkan disparitas (kemampuan daya beli masyarakat sangat bervariasi).

Menteri ESDM Ignasius Jonan (Foto:Dok.Medcom.id)
“Ini satu tantangan besar. Sebab, kalau dari produsen pasti maunya listrik dijual dengan tarif yang menghasilkan keuntungan. Maka, tugas pemerintah sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, yaitu membuat hasil sumber daya alam bisa digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tutur Jonan.
Tercatat, rasio elektrifikasi (jumlah masyarakat yang sudah menikmati listrik) hingga saat ini sebanyak 98,30 persen. Itu berarti ada sekitar 5 juta lebih penduduk yang belum menikmati aliran listrik.
Terdapat sekitar 160 ribu rumah tangga butuh dukungan biaya pasang sambungan listrik, atau sekitar 600 ribu jiwa yang belum mendapatkan sambungan listrik ke rumahnya. “Mereka ini (masyarakat yang belum ada sambungan listrik) tidak bisa ditinggal. Menurut saya, harus dikerjakan,” kata Jonan lantang.
Pemanfaatan Energi Hijau
Untuk menjamin ketersediaan energi yang berkelanjutan, pemerintah juga berkomitmen memaksimalkan pemanfaatan energi baru sebagai sumber energi primer pembangkit listrik, dan energi hijau (bahan bakar ramah lingkungan).Salah satu caranya dengan implementasi pengolahan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) menjadi green fuel (Green Gasoline atau Green Diesel).
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) mendorong percepatan kebijakan Mandatori B20 yaitu biodiesel dari kadar pencampuran minyak sawit 20 persen (B20) menjadi 30 persen (B30).
Direktur Utama BPDP-KS Dono Boestami mengatakan implementasi Mandatori B20 sudah dilakukan secara penuh dan menyeluruh. Tahun ini penggunaan B20 ditargetkan 6,2 juta kiloliter. Dengan besaran tersebut, maka pihaknya juga mendorong pengembangan yang lebih tinggi kadar campuran minyak sawitnya.
"Kami juga mengharapkan program percepatan B30 kalau bisa pada kuartal ke empat 2019 sudah diimplementasikan," kata Dono ditemui di lokasi yang sama.
Selain itu, BPDP-KS juga mendorong percepatan untuk B100 atau green fuel (Green Gasoline atau Green Diesel). Saat ini, uji coba mengenai green fuel telah selesai dilakukan di Kilang Plaju milik Pertamina. Sementara, untuk uji coba Green Diesel tengah dilakukan di Kilang Dumai.
Upaya ini dilakukan untuk menciptakan dan mengembangkan sumber energi baru ramah lingkungan.
"Berikutnya, green avtur di Kilang Cilacap. Ini semua menggunakan kilang eksisting milik Pertamina," tutur Dono.
BPDP-KS siap mendukung program tersebut dari sisi kecukupan pasokan minyak kelapa sawit (CPO). Saat ini, produksi CPO nasional berkisar antara 40 juta ton hingga 45 juta ton. Dengan jumlah tersebut diyakini mampu mencukupi kebutuhan program green fuel.
Permudah Akses Energi
Pekerjaan rumah lainnya yang menanti diselesaikan pemerintah ialah soal bagaimana energi mudah diakses masyarakat. Energi tidak bisa hanya diperlakukan sebagai murni komoditas, tetapi lebih dari itu ia juga harus menjadi agen perubahan. “Pengelolaan sumber daya alam Indonesia tidak bisa meniru Amerika Serikat yang semua ditentukan oleh harga pasar. Implementasi Pasal 33 UUD 1945, ada penetrasi dari pemerintah sehingga banyak faktor. BBM Satu Harga mau tidak mau walaupun volumenya kecil, tetap harus disediakan. Di situ letaknya, butuh kehadiran pemerintah,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Satya Widya Yudha, masih di lokasi yang sama.
Apa yang dikatakan Satya itu termasuk dalam program jaringan listrik ke daerah terpencil. Memang bila dihitung secara keekonomian tidak akan cukup. Namun, penyediaan listrik merupakan kewajiban negara kepada masyarakat yang harus dipenuhi. “Maka kita tidak bisa melihatnya hanya sebagai kegiatan komersial saja,” ujar Satya, tegas.
.jpg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News