"Dengan berbagai tekanan yang dihadapi, merger akan lebih menguntungkan Grab. Secara bisnis, market share Gojek lebih kuat dan memiliki brand image yang lebih positif di Indonesia," kata Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 8 Desember 2020.
Sebelumnya, rumor mengenai proses merger antara Gojek dan Grab kembali terdengar. Bahkan dikutip dari The Business Times, proses merger disebut terus dalam pembicaraan, dan beberapa hal terkait perbedaan sudah tinggal menunggu negosiasi.
Ekonom Universitas Bina Nusantara (Binus) Doddy Ariefianto juga menyebutkan Gojek tidak memerlukan merger dengan Grab. Dengan berbagai potensi yang ada, Gojek dinilai masih bisa mengoptimalkan Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara.
"Sekarang ini banyak orang di negara kita maupun di luar negeri sudah semakin melek terhadap penggunaan cashless. Ini menjadi indikator yang baik buat pengembangan bisnis perusahaan seperti Gojek," ungkapnya.
Secara fundamental sejatinya posisi Gojek saat ini sudah jauh lebih solid. Co-CEO Gojek Andre Sulistyo sebelumnya melaporkan perkembangan positif Gojek sejak melakukan restrukturisasi bisnis dengan fokus kembali ke bisnis inti, sehingga berhasil mencetak laba operasional.
"Investasi ada perpaduan pendanaan dari luar dan internal cash flow. Jika ada profit dari titik produk itu, investasi yang kami lakukan tidak hanya dari luar. Sejak tahun ini investasi bisa dihasilkan dari internal cash flow. Ini penting sekali," jelas dia.
Tak hanya itu, semakin solidnya fundamental Gojek di tengah pandemi covid-19 ini juga ditandai dengan masuknya sejumlah investor baru. Tahun ini Gojek mendapatkan pendanaan baru melalui fund raising seri F dan dari Telkomsel senilai USD150 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News