Country Director, Google Indonesia Veronica Utami. Foto: Istimewa.
Country Director, Google Indonesia Veronica Utami. Foto: Istimewa.

Tingginya Adopsi Pengguna AI di Indonesia tak Sebanding dengan Jumlah Startupnya

Arif Wicaksono • 14 November 2025 10:04
Jakarta: Seiring kawasan Asia Tenggara bergerak cepat menuju transformasi global berbasis kecerdasan buatan (AI), Indonesia tampil sebagai pemimpin regional dalam adopsi pengguna dan momentum komersial.
 
Kepemimpinan ini ditopang oleh kesiapan pengguna yang luar biasa, di mana 80% pengguna di Indonesia berinteraksi dengan alat berbasis AI setiap hari, tertinggi kedua di kawasan. 
 
Antusiasme ini juga tercermin di pasar dengan pertumbuhan pendapatan aplikasi berbasis AI yang melonjak hingga 127% antara paruh pertama 2024 dan paruh pertama 2025, tertinggi di Asia Tenggara.

Lebih dari sekadar penggunaan harian, semangat untuk bertransformasi dengan AI juga terlihat di dunia kerja dengan 79% pengguna aktif mempelajari dan meningkatkan keterampilan terkait AI. Motivasi utama mereka adalah untuk meningkatkan efisiensi, menghemat waktu riset dan perbandingan (51%), mendapatkan rekomendasi yang lebih personal (35%), serta keamanan yang lebih baik (32%).
 
Namun, di tengah tingginya permintaan ini, investasi modal yang masuk ke sektor AI Indonesia masih belum sebanding dengan potensinya. Jumlah startup AI di Indonesia (45+) dan porsi pendanaan (4% dari total ASEAN-10) masih jauh di bawah pusat regional seperti Singapura (495+) dan Malaysia (60+).
 
Country Director, Google Indonesia Veronica Utami, menegaskan potensi konsumsi digital Indonesia sebenarnya sudah sangat besar dan terbukti kuat. Namun, menurutnya, kini saatnya Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga menjadi rumah bagi inovasi dan produksi teknologi berbasis AI.Ia menjelaskan bahwa tantangan utamanya terletak pada ekosistem. 
 
“Ekosistem pengembang dan startup lokal perlu tumbuh lebih cepat agar dapat menyeimbangkan permintaan besar dari konsumen dan tenaga kerja,” jelas dia.
 
Salah satu fondasi terpenting adalah penguatan keterampilan talenta teknologi. Veronica menekankan pentingnya memastikan para developer dan engineer Indonesia menguasai kemampuan AI. Ia menyebut banyak program pelatihan dari Google maupun perusahaan teknologi lain yang berupaya mempercepat peningkatan skill tersebut.
 
“Di antaranya adalah dari visi skilling atau kemampuan developernya sendiri, bagaimana memastikan developer-developer, engineer-engineer di Indonesia juga semuanya memuasai AI dan banyak kali program skilling oleh Google maupun oleh pemain-pemain teknologi yang lain untuk bisa mendorong kemampuan tersebut,” tegas dia.
 
Veronica juga menyoroti perbedaan mendasar antara startup AI dan startup teknologi konvensional. Startup AI memerlukan kemampuan komputasi yang sangat besar yang berarti investasi modal (capex) yang jauh lebih tinggi dan berkelanjutan. Hal ini, menurutnya, membuat barrier to entry lebih tinggi bagi calon pemain baru.
 
 “Ini hipotesis saya, tentu bisa dikoreksi,” katanya.
 
Selain persoalan teknis, ia juga menekankan pentingnya menghubungkan investor dengan para developer berbakat yang memiliki ide-ide kuat. Kolaborasi tersebut penting untuk memunculkan inovasi yang dapat tumbuh menjadi solusi nyata di pasar.
 
Ia kemudian menyinggung aspek lingkungan regulasi dan infrastruktur yang harus lebih pro-inovasi agar industri AI dapat berkembang lebih cepat dan lebih stabil. Menurutnya, era startup saat ini juga berbeda dibanding satu dekade lalu. Investor kini menuntut jalur menuju profitabilitas yang lebih jelas sejak awal. 
 
“Kalau dulu fokusnya hyper-growth, sekarang monetisasi harus jelas dari awal,” kata Veronica.
 
Ia menilai perubahan ini sebagai hal positif karena mendorong lahirnya perusahaan rintisan yang lebih berkelanjutan, kuat secara bisnis, dan mampu menarik pendanaan jangka panjang.
 
 “Bagaimana kita mengkoneksikan antara investor ke developer-developer yang juga punya ide-ide bagus untuk bisa mengembangkan ide-ide inovasi baru ini,” tegas dia.

Siklus Ekonomi Global

Menanggapi paparan sebelumnya, Partner Bain & Company,  Aadarsh Baijal, menilai poin-poin kunci terkait tantangan dan peluang startup AI di Indonesia sudah tepat. Ia kemudian menambahkan perspektif lain terkait dinamika pertumbuhan ekosistem teknologi di kawasan.
 
Menurutnya, perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh posisi Asia Tenggara dalam siklus pertumbuhan teknologi global. Saat ini, minat investor cenderung lebih besar terhadap startup yang menargetkan pasar global. Karena itu pula, berbagai inisiatif teknologi skala besar masih banyak muncul dari hub seperti Singapura.
 
Namun ia meyakini tren ini akan berubah. Ke depan, akan ada lebih banyak ketertarikan terhadap model bisnis yang fokus pada pasar akhir (end-market) di Asia Tenggara. Ketika model bisnis tersebut semakin jelas dan matang, barulah peluang bagi lahirnya startup lokal yang dirancang khusus untuk kebutuhan pasar regional akan semakin terbuka.
 
“Apakah pemenangnya nanti datang dari Indonesia, Malaysia, atau Vietnam? Kita belum tahu,” ujarnya. 
 
Namun ia optimistis bahwa ketika ekosistem mencapai tahap tersebut, startup lokal akan mulai bermunculan terutama di ranah aplikasi yang membutuhkan capex jauh lebih rendah dibanding startup yang kini membangun teknologi fondasional.
 
Ia memperkirakan fase ini mulai terlihat sekarang dan akan semakin nyata menjelang 2026. Meski begitu, hasil akhirnya masih sulit diprediksi. Ia juga sependapat bahwa ekosistem pendukung dan akses terhadap pendanaan tetap menjadi faktor kunci. Tanpa itu, sulit bagi talenta dan inovasi lokal untuk berkembang dan bersaing di tengah derasnya arus investasi global.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan