Radikalisme adalah paham yang menghendaki perubahan sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan yang dianggap benar.
"Distorsi pemahaman agama menjadi akar dari munculnya sikap radikal dalam beragama. Pemahaman terhadap dalil agama hanya secara harfiah yang menimbulkan kekakuan dalam beragama," ujar Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah, dalam webinar, Senin, 20 Mei 2024.
Menurut dia, internet menjadi saluran dan rujukan yang massif dan efektif digunakan untuk menyampaikan dan mempelajari kontens keagamaan, khususnya bagi generasi milenial.
Penelitian terbaru yang diawasi oleh Guru Besar UIN Bandung menyebutkan 58 persen anak muda lebih suka belajar agama melalui media sosial seperti YouTube atau Instagram. Selain itu tak banyak anak-anak muda yang mengenal organisasi keagamaan dan cenderung lebih mengenal pendakwah individual yang aktif di dunia maya.
Taufiq memaparkan tantangan kehidupan beragama di era disrupsi:
- Hijrah dan Syar'i menjadi tren baru yang menyempit pada lifestyle, pakaian dan kelompok pengajian karena peranan influencer dan digital marketing.
- Kiai yang mumpuni kalah tenar dengan ustadz/ustadzah baru dari kalangan selebgram.
- Derasnya arus informasi menyebabkan kita sulit menyaring mana yang shahih (valid) dan mana yang tidak.
- Konten dakwah online banyak didominasi oleh kelompok yang cenderung eksklusif terhadap Muslim lain yang tidak sepaham.
- Pencarian di internet dengan kata kunci tertentu, akan menghasilkan referensi yang hanya relevan dengan kata kunci tersebut. Akibatnya, bisa terjadi sempit pemahaman terhadap agama.
Menurut dia, konten radikal menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi kalangan milenial yang sangat akrab dengan media sosial. Adanya fakta perekrutan anak muda ke dalam organisasi radikal mayoritas dilakukan melalui media sosial.
Oleh karena itu, penguatan civil society adalah kunci untuk menghalau radikalisme. Kegiatan kontra radikal-terorisme secara simultan dan efektif harus dilakukan oleh segenap pemerintah dan masyarakat. tidak ada istilah menyerahkan urusan ini kepada polisi/tentara sebagai badan yang bertanggung jawab secara struktural kenegaraan, tapi masyarakat perlu/wajib terlibat sebagaimana subtansi amanat UUD 1945 untuk sama-sama menjaga NKRI.
Praktisi digital Ismail Cawidu menambahkan, UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dengan jelas menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".
"Webinar ini diselenggarakan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan & Kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan serta meningkatkan hubungan antarbangsa," kata dia.
Jaringan infrastruktur TIK dibangun untuk kemaslahatan/kesejahteraan, namun faktanya ada orang justru menggunakan TIK untuk menyengsarakan orang lain, merusak tatanan kehidupan masyarakat, menyebar kebencian, permusuhan, dan radikalisme mengakibatkan penderitaan orang lain, segala energi, kerja keras, dan dana yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi menjadi tidak produktif.
Lalu, bagaimana kita bersikap dalam menghadapi radikalisme:
- Memperkuat jiwa nasionalisme melalui NCB (Nation Character Building).
- Berpikiran terbuka dan toleran pada Kebhinnekaan.
- Waspada terhadap provokasi dan hasutan.
- Bersikap kritis terhadap setiap konten yang provokatif.
- Tidak melibatkan diri dalam kelompok remaja anarkis.
- Belajar Agama pada lembaga resmi dan terbuka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News