Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Foto : Medcom.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Foto : Medcom.

Transformasi Digital Dibayangi Ancaman Serangan Siber hingga Pencurian Data

Eko Nordiansyah • 29 November 2021 19:41
Jakarta: Pertumbuhan digitalisasi ekonomi keuangan dan sistem pembayaran bergerak cepat didukung pembatasan mobilitas akibat pandemi covid-19. Meskipun ekonomi dan keuangan digital menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi serta mempercepat inklusi ekonomi dan keuangan, di sisi lain hal ini memunculkan masalah baru.
 
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan saat ini pemerintah sedang berusaha untuk melakukan transformasi digital dengan tetap mengedepankan penguatan keamanan data digital. Pada 2022, pemerintah akan mengimplementasikan kolaborasi satu data Indonesia yang melibatkan berbagai stakeholder sebagai hasil dari transformasi digital.
 
"Perlindungan data pribadi, keamanan data merupakan kunci. Pemerintah akan membentuk National Security Operation Center (NSOC). Ini untuk menjaga keamanan digital kita," ujarnya dalam webinar 'Digital Economic in Collaboration: The Importance of Cyber Security To Protect Financial Sector in The New Age' di Jakarta, Senin, 29 November 2021.

Meski begitu, menurut data Kementerian Perdagangan, ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan tumbuh hingga delapan kali lipat di 2030. Saat ini nilai pasar ekonomi digital nasional mencapai Rp632 triliun, dan diprediksi akan menjadi Rp4.531 triliun dalam delapan tahun ke depan.
 
"E-commerce ini memainkan peranan yang sangat besar, yakni 34 persen atau setara Rp1.900 triliun. Untuk menopang pertumbuhan ekonomi digital, faktor-faktor lainnya juga perlu diperkuat, seperti jaringan atau infrastruktur digital, literasi masyarakat, dan sumber daya manusia (SDM)," jelas dia.
 
Sementara itu, untuk menghidari serangan siber, perlu ada kolaborasi bersama antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Hal ini dikarenakan tanggung jawab keamanan siber bukan ada pada pemerintah atau pelaku usaha saja, melainkan semua pihak.
 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas industri keuangan terus mendorong perbankan untuk memperkuat tata kelola dan manajemen risiko teknologi informasinya (TI) di tengah bisnis perbankan yang sedang mengalami transformasi dari arah old banking system menuju digital banking.
 
Menurut Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat, ada tantangan yang perlu diantisipasi perbankan seperti perlindungan dan pertukaran data nasabah, risiko kebocoran data nasabah terkait dengan fraud, kemungkinan ketidaksesuian investasi teknologi dengan strategi bisnisnya, dan lainnya.
 
"Risiko serangan siber menjadi salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai dan dimitigasi oleh perbankan di era digital, mengingat perkembangan digitalisasi di perbankan meningkatkan timbulnya risiko keamanan siber bagi bank," ujar dia.
 
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki cara tersendiri untuk menjamin pengamanan data digital setiap nasabah yang ada di sistem pembayaran nasional. Salah satu caranya adalah dengan melakukan komunikasi intens dengan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP).
 
"Dampak dari kebocoran data cukup fatal dan harus dibereskan secepat mungkin. Kita memberikan waktu maksimal satu jam dari kejadian harus lapor. Lalu, kita lakukan pembahasan, audit untuk mencari apa penyebab sebenarnya," kata Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Retno Ponco Windarti.
 
Selain itu, ia juga menegaskan, BI akan memberikan sanksi pada PJP dan PIP yang teledor dalam melakukan kewajibannya untuk menjamin keamanan data para nasabah. Dengan begitu, keamanan digital menjadi salah satu faktor yang perlu diutamakan dalam industri jasa keuangan.
 
Dari sisi industri perbankan, Bank DKI memiliki langkah-langkah untuk menangkal serangan siber salah satunya dengan pendekatan IT Security Cyber Architecture. Direktur Teknologi dan Operasional Bank DKI, Amirul Wicaksono mengatakan, sejauh ini Bank DKI masih aman dari risiko serangan siber karena, bank memiliki regulasi yang ketat.
 
"Di bank ada regulasinya, seperti Peraturan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi (MRTI). Dari OJK juga selalu mengaudit fungsi mitigasi risiko dan fungsi untuk menangkal serangan siber. Apalagi, Bank DKI sudah mempunyai produk-produk digital," ujar dia.
 
Seiring dengan transformasi digital yang dilakukan industri keuangan, risiko serangan siber juga ikut meningkat di industri multifinance. Untuk itu, CIMB Niaga Finance sebagai perusahaan pembiayaan telah menerapkan dua hal untuk memitigasi risiko cyber crime.
 
"Bagaimana bisa kita mitigasi, pertama di CIMB Niaga Finance kita membentuk satu divisi yang fokus terhadap IT security yang ada bagiannya sendiri. Kedua, di berbagai macam sistem kita develop internal teknologi bagi produk yang sudah kita luncurkan dan belum kita luncurkan," jelas Presiden Direktur CIMB Niaga Finance, Ristiawan Suherman.
 
Sementara itu, Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC menghimbau Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP) perlu semakin hati-hati. Pasalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi memuat hukuman bagi penyelenggara sistem jasa keuangan yang teledor dalam menjaga data nasabah.
 
"Hati-hati, nanti kalau sudah diundangkan, ada ancaman hukuman badan dan ancaman denda, perdata dan pidana kalau ternyata terjadi kebocoran data di platform yang anda miliki," pungkas Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SAW)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan