"Mata uang Asia, termasuk rupiah cenderung bergerak menguat terhadap dolar AS menyusul data manufaktur AS yang mengalami kontraksi," kata Kepala Riset Monex Investindo Future Ariston Tjendra di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu, 2 Oktober 2019.
Ia memaparkan indeks manufaktur AS turun menjadi 47,8 di September, level terendah sejak Juni 2009, ini menjadi bulan kedua beruntun untuk berada di area kontraksi.
"Setiap angka di bawah level 50 sinyalkan kontraksi," ucapnya.
Terpantau, pergerakan rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi bergerak menguat tipis sebesar tiga poin atau 0,02 persen menjadi Rp14.210-Rp14.210 per USD dibanding posisi sebelumnya Rp14.213-Rp14.213 per USD.
Sementara dari dalam negeri, lanjut dia, isu domestik mengenai demonstrasi diperkirakan masih akan membayangi pasar meski tensinya relatif mulai mereda.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan adanya indikasi perlambatan kegiatan usaha pada Agustus 2019 dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menahan apresiasi rupiah lebih tinggi.
Ia mengemukakan uang beredar pada Agustus 2019 tumbuh 7,3 persen (year on year/yoy), melambat dibandingkan Juli yang tumbuh 7,8 persen yoy. Perlambatan itu karena melambatnya aset domestik neto yang komponen terbesarnya kredit perbankan.
Penyaluran kredit melambat menjadi 8,6 persen yoy dari 9,7 persen yoy pada Juli. Perlambatan ini terutama berasal dari kredit modal kerja korporasi non finansial.
"Kondisi yang sama juga terlihat pada DPK Korporasi nonfinansial yang juag melambat," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News