Budi mengatakan IHSG memang sempat terkoreski di bawah level 6.000. Namun aksi tahunan yang akan terjadi di penghujung tahun akan mendorong kembali gerak IHSG.
"Selama 12 tahun terakhir IHSG tidak pernah minus setiap setiap Desember. Salah satu faktor pendorongnya adalah aksi window dressing yang sering dilakukan emiten dan institusi keuangan agar kinerja saham tercatat menawan pada akhir tahun," jelas Budi dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 3 Desember 2019.
Berdasarkan historikal 12 tahun terakhir tersebut, IHSG rata-rata tumbuh sekitar 3,5 persen pada Desember.
"Jika angka rata-rata ini dijadikan acuan untuk memproyeksikan kenaikan Desember 2019, maka IHSG berpeluang ditutup pada posisi 6.222," sebut dia.
Budi melanjutkan selain faktor internal yang memicu terkoreksinya IHSG pada November lalu, pelemahan IHSG pada bulan lalu juga dipicu faktor eksternal terutama memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Kondisi dua negara ekonomi terbesar itu kembali memanas seusai Presiden AS Donald Trump menandatangani Undang-undang (UU) penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Hong Kong.
Aksi negeri Adidaya yang dianggap campur tangan urusan dalam negeri membuat pihak Tiongkok meradang. Kementerian Luar Negeri Tiongkok pun menegaskan Beijing akan melakukan serangan balasan.
"Hal ini membuat khawatir para investor terhadap memburuknya prospek damai dagang oleh dua negara perekonomian terbesar dunia ini. Sehingga investor memilih tak berinvestasi di portofolio berisiko di negara berkembang," tukas dia.
Berdasarkan catatan BTIM, satu pekan lalu, investor asing mencatat penjualan bersih Rp2,68 triliun di Bursa Efek Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News