Dua peraturan BEI yang akan direvisi terkait dengan pembiayaan Marjin ini adalah Peraturan BEI nomor II-H tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek dalam Transaksi Marjin dan Transaksi Short Selling, serta nomor III-I tentang Keanggotaan Marjin dan/atau Short Selling.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida, menyebutkan, perubahan aturan ini dilakukan karena banyak terjadi penalangan atau pembiayaan oleh Perusahaan Efek Anggota Bursa (AB) terhadap nasabahnya untuk saham-saham yang tidak masuk dalam kriteria Marjin.
"Dengan adanya Relaksasi Marjin ini diharapkan dapat meningkatkan nilai transaksi saham Anggota Bursa Efek dan dapat meningkatkan nilai permodalan Anggota Bursa (AB) atau broker)," kata Nurhaida, ditemui di Gedung BEI, Jakarta, Senin (16/1/2017).
Data per 28 Desember 2016, menurut Nurhaida, nilai outstanding pembiayaan Marjin masih relatif kecil yakni sebesar Rp1,8 triliun. Sebanyak Rp1,3 triliun atau 72 persen dari jumlah tersebut dilakukan oleh 18 Anggota Bursa yang memiliki Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) di atas Rp 250 miliar.
Padahal outstanding pembiayaan di luar saham-saham yang tergolong ke dalam kriteria saham Marjin yang dilakukan oleh Anggota Bursa jumlahnya mencapai Rp 4,3 triliun. Dari jumlah tersebut, 77 persen diantaranya atau sekitar Rp3,3 triliun dilakukan oleh 19 Anggota Bursa yang memiliki MKBD di atas Rp 250 miliar.
Nurhaida menyebutkan, ada tiga pokok perubahan aturan Marjin yang ada di dalam revisi Peraturan BEI nomor III-I. Pertama adalah pengelompokan AB menjadi 2 kategori berdasarkan nilai MKBD, yaitu AB yang memiliki nilai MKBD sebesar Rp 250 Miliar atau lebih akan dapat melakukan Transaksi Marjin atas Efek Marjin yang telah direlaksasi.
"Kategori AB selanjutnya adalah AB dengan nilai MKBD kurang dari Rp 250 miliar nantinya hanya dapat melakukan transaksi Marjin atas efek Marjin yang masuk dalam daftar Efek Indeks LQ-45," jelas Nurhaida.
Kedua, terdapat penambahan pengaturan baru yang selama ini tidak ada ketentuan baku sehingga menyulitkan pelaku dalam bertransaksi Marjin sebagai contoh, pengaturan tentang pengambilalihan (take over) kewajiban nasabah atas Transaksi Marjin oleh AB Marjin lainnya, larangan memberikan pinjaman dana kepada nasabah bukan untuk penyelesaian Transaksi Marjin (overdraft), dan larangan melakukan perpindahan piutang nasabah dari rekening Efek reguler ke Rekening Efek Pembiayaan Transaksi Marjin pada AB yang sama.
Sedangkan pokok perubahan yang ketiga adalah adanya sanksi Pencabutan Surat Persetujuan Melakukan Transaksi Marjin atau Transaksi Short Selling apabila tidak memenuhi kewajiban sebagai Anggota Bursa Efek Marjin atau Short Selling.
Sedangkan dua pokok perubahan yang termuat dalam revisi aturan II-H, yaitu terkait perubahan kriteria Efek Marjin sehingga memungkinan bertambahnya jumlah saham yang dapat ditransaksikan dalam Transaksi Marjin.
"Adapun perubahan kriteria Efek Marjin ialah dari sisi fundamental, teknikal, dan likuiditas sehingga saham yang dapat ditransaksikan dapat lebih bervariasi," kata Nurhaida.
Perubahan yang kedua adalah penambahan Daftar Efek Marjin setelah Relaksasi Marjin menjadi 179 saham dari sebelumnya berdasarkan data per Desember 2016 sebanyak 57 saham.
"Berdasarkan data per 12 Januari 2017, dari sebanyak 105 AB aktif di BEI, yang memiliki nilai MKBD Rp250 miliar atau lebih sebanyak 28 AB dengan 18 AB diantaranya memiliki Izin Marjin. Sedangkan 77 AB memiliki MKBD kurang dari Rp250 miliar dengan 50 AB diantaranya memiliki izin Marjin," pungkas Nurhaida.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News