Ilustrasi BI. (FOTO: MI/Rommy Pujianto)
Ilustrasi BI. (FOTO: MI/Rommy Pujianto)

BI tak Perlu Tergesa Naikkan Suku Bunga

06 Maret 2018 09:26
Jakarta: Di tengah gencarnya kebijakan Amerika Serikat (AS) untuk mendorong kekuatan ekonomi dalam negeri, negara-negara maju di sekitarnya turut berancang-ancang memproteksi diri dengan mulai menaikkan suku bunga.
 
Namun, Direktur Eksekutif sekaligus ekonom senior ASEAN dan India UBS Investment Research Edward Teather berpandangan langkah tersebut tidak perlu terburu-buru dilakukan Indonesia dengan ikut-ikutan menaikkan suku bunga.
 
Menurut dia, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 akan didorong investasi dan konsumsi yang selama beberapa tahun terakhir agak melemah. Pihaknya memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada kisaran 5,5 persen, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsensus sebesar 5,3 persen.

"Jadi, tidak perlu terburu-buru Bank Indonesia (BI) mengikutinya dengan kenaikan suku bunga. Pada saat prospek kenaikan suku bunga The Fed empat kali, rupiah masih akan berpeluang menguat setelah melemah akhir-akhir ini," ungkap Edward dalam UBS Indonesia Conference di Jakarta, Senin, 5 Maret 2018.
 
Hal itu, kata dia, juga didorong perekonomian Tiongkok yang diprediksi antiklimaks atau melambat pada tahun ini akibat tidak tercapai-nya target pasar properti yang tumbuh moderat. Akhir-akhir ini, tren penjualan pasar properti Tiongkok mulai lebih rendah daripada produk yang ditawarkan.
 
"Pelambatan pasar properti Tiongkok di tahun ini tentu akan menyeret perekonomiannya serta memengaruhi pasar komoditas dalam hal ini coal (batu bara) dan crude palm oil (minyak sawit). Meski begitu, keuntungan yang sehat bagi produsen batu bara Indonesia masih bisa dipertahankan," jelas Edward.
 
Edward juga optimistis tren pelemahan rupiah saat ini akan berbalik dan memprediksi selanjutnya dolar AS akan melemah sampai pada batas level Rp13.000 per USD. Sebab, meski dolar AS masih terlihat menguat terhadap rupiah, reformasi pajak di AS akan membuat masalah defisit kembar yaitu defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal AS yang makin besar.
 
"Ini yang kemudian akan melemahkan dolar AS. Dolar AS akan melemah menjadi 1,4 per euro sehingga seharusnya rupiah menguat karena fundamen ekonomi dalam kondisi stabil, terutama dunia melihat inflasi Indonesia dalam rezim rendah. Investasi di Indonesia juga kami perkirakan meningkat 6-7 persen, khususnya pada sektor riil karena didukung kenaikan harga komoditas ekspor," tukas Edward.
 
Tren Bullish
 
Sementara itu, Kepala Analis UBS Indonesia Joshua Tanja menambahkan pada 2018 pasar ekuitas masih akan berada pada tren bullish. Sepanjang 2018, pihaknya memiliki target indeks harga saham gabungan (IHSG) pada level 6.800 dengan tren upside. Hingga kemarin sore, IHSG BEI ditutup pada posisi 6.550,59.
 
Ia melanjutkan tren IHSG yang akan membaik tahun ini berimbas pada kinerja emiten yang ujungnya menghasilkan dividen lebih besar untuk kemudian mendorong pertumbuhan kredit.
 
"Bila pertumbuhan kredit perbankan, misalnya Bank Mandiri bisa mencapai 15-20 persen, tentunya akan memberikan dividen lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekspektasi pasar," pungkas Joshua. (Media Indonesia)
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan