Ilustrasi. (FOTO: Reuters)
Ilustrasi. (FOTO: Reuters)

Kaleidoskop: 2015, Tahun Suram bagi Rupiah

Wanda Indana • 30 Desember 2015 11:58
medcom.id, Jakarta: 2015 menjadi masa-masa suram bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang Garuda dipaksa tumbang dari tekanan nilai tukar Dolar Amerika Serikat (USD) dan devaluasi Yuan, mata uang Tiongkok (CNY).
 
Sepanjang 2015, dunia sempat dibuat galau lantaran bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuannya (The Fed Fund Rate). Fed Fund Rate yang ditahan 0,25 persen sejak 2008, akhirnya diputuskan naik sebesar 0,25-0,50 persen dalam rapat federal open market community (FOMC), pada Rabu 16 Desember.
 
Semenjak gonjang-ganjing kenaikan suku bunga The Fed, nilai tukar dolar terus meroket. Bahkan, nilai tukar dolar terhadap 10 mata uang utama dunia telah menyentuh level tertinggi sejak Juli 2014.

Kenaikan suku bunga The Fed dianggap berpotensi menarik kembali dolar ke negeri Paman Sam lantaran kinerja ekonomi AS terus membaik. Alhasil, dolar semakin perkasa dan berimbas pada depresiasi sejumlah mata uang di negara emerging market (negara berkembang) seperti Indonesia yang selama ini menikmati melimpahnya dolar.
 
Rupiah, salah satu korban keganasan dolar sudah terdepresiasi lebih dari 13,21 persen dari Januari-Desember. Rupiah bahkan pernah menembus level terburuk, yakni Rp14.693 per USD di pasar spot. Penderitaan rupiah terus berlanjut, secara mengejutkan Bank Sentral Tiongkok (PBOC) mendevaluasi Yuan. PBOC tercatat dua kali mendevaluasi. Devaluasi pertama, cukup membuat rupiah tersungkur di level Rp14.700 per USD.
 
Bank Indonesia (BI) mengakui, mata uang Garuda sudah overshoot, menjauhi nilai fundamentalnya yakni di angka Rp13.300-Rp13.700 per USD. Nilai ini jauh dari asumsi makro APBD Perubahan 2015 sebesar Rp12.500 per USD. BI pun mengeluarkan jurus penguatan nilai tukar rupiah dengan mengeluarkan paket stimulus untuk mendongkrak kinerja rupiah, salah satunya melakukan stabilisasi dengan mengintervensi rupiah di pasar forward.
 
"Customer dan bank juga didorong masuk ke pasar forward terkait kebijakan kelonggaran satu juta forward menjadi lima juta forward tanpa underlying plus perluasan. Definisi underlying yang bisa memasukkan deposito sebagai dokumen underline," kata Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, beberapa waktu lalu.
 
Setelah merilis paket stimulus, pergerakan rupiah mulai terkendali. Rupiah kembali menuju nilai fundamentalnya versi BI di level Rp13.600-Rp13.800 per USD. Namun menjaga stabilitas rupiah tidaklah gratis. BI menggelontorkan cadangan devisa. Di mana pada awal tahun, cadangan devisa tercatat sebesar USD114,250 miliar. Namun pada November, cadangan devisa anjlok menjadi USD100,24 miliar.
 
Pengamat menilai, BI harus menjaga rupiah harus tetap pada level yang menguntungkan eksportir dan importir. Sebab, faktor internal dari defisit neraca transaksi berjalan dan pelemahan impor masih mendera rupiah. Namun, stabilitas rupiah masih terancam. Pada Desember, PBOC kembali mendevalausi Yuan yang mengguncang rupiah hingga menyentuh Rp14.000 ribu per USD.
 
Gubernur BI Agus Martowadojo menyikapinya dengan tenang. "Ini suatu kondisi yang harus kita hadapi di akhir tahun. Kita menyikapi ini sebagai sesuatu yang temporer. BI akan selalu ada di pasar untuk menjaga volatilitas sehingga ini (rupiah) akan stabil kembali," ujar Agus.
 
BI masih optimistis nilai tukar rupiah terkendali karena faktor The Fed Fund Rate lebih mudah diprediksi. Pada 2016, BI memproyeksi rupiah akan berada di level Rp13.900 per USD. Sementara berdasarkan survei Bloomberg, rupiah diprediksi akan bergerak rata-rata pada level Rp14.257 per USD. Pada level tertinggi, rupiah bisa menguat pada Rp13.600 per USD dan terlemah pada Rp15.150 per USD.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan