Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan sebenarnya penyaluran kredit industri perbankan bisa tumbuh subur lantaran didukung longgarnya likuiditas dan suku bunga acuan yang rendah. Sayangnya langkah itu tak ampuh, sebab pertumbuhan kredit hingga akhir 2020 masih terkontraksi sebesar minus 2,41 persen.
"Inilah yang menjadi fokus koordinasi di bawah KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Bagaimana dari sisi fikal, bagaimana dari sisi moneter makroprudensialnya BI, dari OJK, bahkan dari LPS secara bersama mendorong penyaluran kredit dari perbankan ke dunia usaha," ungkap Perry dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR secara virtual, Selasa, 9 Februari 2021.
Sejumlah indikator stabilitas sistem keuangan juga mendukung untuk penyaluran kredit. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) misalnya yang tumbuh cukup tinggi hingga 23,78 persen. Rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) juga relatif terjaga karena adanya kebijakan restrukturisasi kredit.
Kondisi ini ditopang oleh longgarnya likuiditas imbas langkah bank sentral melakukan quantitative easing kepada industri perbankan. Ini tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang mencapai 31,67 persen.
"Suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) juga rendah, demikian juga DPK yang tumbuh tinggi sebesar 11,1 persen," papar Perry.
Di sisi lain, Bank Indonesia juga tengah memperhatikan tingkat inflasi yang hingga Januari 2021 berada di 1,55 persen (yoy). Inflasi yang rendah itu disebabkan oleh masih lemahnya permintaan dan daya beli masyarakat.
"Inflasi masih bisa lebih tinggi tanpa mengurangi stabilitas, daya beli dan pertumbuhan bisa meningkat. Secara keseluruhan tahun ini kami memperkirakan bahwa inflasi masih berada di sekitar tiga persen plus minus satu persen sesuai dengan sasaran," tutup Perry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News