Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan investasi yang masuk di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri. Investasi dari Jepang diharapkan bisa membuka lapangan kerja sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia. Dengan demikian, perekonomian rakyat akan terdongkrak.
"Investasi yang masuk dari Jepang itu harapannya adalah bisa menyerap tenaga kerja, supaya pendapatan masyarakat meningkat, mengurangi pengangguran," kata Ahmad di Jakarta, Kamis, 28 Juli 2022.
Menurut Ahmad, salah satu industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah industri manufaktur. "Investasi yang masuk ini harus diarahkan ke sektor-sektor yang sifatnya industri manufaktur atau pengolahan. Atau sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja padat karya," kata dia.
Selain itu, investasi mestinya bisa difokuskan pada hilirisasi industri. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia harus bisa dioptimalkan dalam penggunaan dan pengolahan. Hal itu patut dilakukan untuk menciptakan nilai tambah dan mengisi rantai produksi dari hulu ke hilir sebuah produk.
"Sekarang yang lagi menjadi perhatian adalah bagaimana bisa melakukan hilirisasi industri. Artinya, dengan sumber daya alam yang kita miliki, itu semua bisa kita olah untuk menjadi barang yang bernilai tambah," kata dia.
Baca: Indonesia Minta Hambatan Tarif Produk Ekspor RI ke Jepang Segera Diatasi |
Terkait energi baru terbarukan (EBT), kata Ahmad, investasi dari Jepang menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia mengingat kemampuan pendanaan dan penguasaan teknologi Negeri Sakura itu.
"EBT kan kita harus ada teknologinya. Tentunya kita harapkan datang dari investasi. Salah satunya di sini adalah dari negara-negara yang memang sudah maju duluan dalam hal penciptaan EBT," tegas dia.
Kejar realisasinya
Komitmen investasi yang dikantongi pemerintah Indonesia dari Jepang dan Tiongkok harus kejar realisisanya agar bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terlebih dalam kondisi krisis, para investor tentu akan berhati-hati dalam menggelontorkan uang mereka. Komitmen jangan cuma jadi seremonial tanpa hasil."Tentunya mau mempunyai dampak yang memang signifikan, pertama komitmen harus berubah menjadi realisasi," kata Executive Director Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.
Dalam konteks ekonomi, pemerintah sudah mendapatkan komitmen. Kini tinggal pelaku bisnisnya yang bergerak.
"Bagaimana komitmen ini bisa difasilitasi pemerintah kedua negara sehingga ada bisnis ke bisnis yang riil," kata Yose.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya berada di Jepang untuk bertemu sejumlah pengusaha kakap Jepang. Dari situ mengantongi komitmen investasi senilai USD5,2 miliar atau Rp77,9 triliun dari kunjungannya ke Jepang.
Sementara dari Tiongkok, pemerintahnya menyampaikan komitmennya untuk menambah impor CPO sebanyak 1 juta ton dari Indonesia. Selain itu, Tiongkok akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia.
Kedua pemimpin juga membahas kerja sama pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara. Menurut data BKPM, kontribusi investasi terbesar PMA pada Kuartal 2 pada 2022 dari Tiongkok (USD2,3 miliar) dan Jepang (USD0,9 miliar).
Di tengah ancaman krisis pangan, resesi, kenaikan inflasi, perlu bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan perekonomian. Dari sisi investasi, pemerintah juga perlu memastikan bahwa Indonesia siap dan kompeten sebagai tujuan investasi.
"Investor akan menjalankan bisnis dengan hati hati, melihat tempat yang bisa memberikan kepastian yang lebih baik, artinya indonesia mempersiapkan diri," tegas Yose.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jepang kembali menegaskan Indonesia adalah negara tujuan investasi terbaik. "In short, kualitas baik, harga bersaing, itulah yang kita harapkan dan saya yakin Indonesia masih merupakan salah satu tempat investasi terbaik," kata Jokowi dalam pertemuan tersebut.
Di sisi lain, perusahaan Jepang meminta adanya insentif pajak. Menko Perekenomian Airlangga memastikan bakal mengkaji permintaan tersebut.
"Sebenarnya dari sisi besaran pajak, Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara lain, contohnya Thailand. Namun, karena ada besaran perbedaan pajak daerah, maka terkesan pajak di Indonesia lebih tinggi. Ini yang sedang kita kaji di pemerintah pusat," kata Ketua Umum Partai Golkar itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News