Menteri Keuangan Sri Mulyani di ajang HSBC Summit 2022: Powering the transition to net zero, Indonesia’s pathway for green recovery. Dok. HSBC
Menteri Keuangan Sri Mulyani di ajang HSBC Summit 2022: Powering the transition to net zero, Indonesia’s pathway for green recovery. Dok. HSBC

Institusi Keuangan Swasta dan Negara Harus Bersinergi Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim

Media Indonesia.com • 14 September 2022 14:54
Jakarta: Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tengara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11 persen pada akhir abad ini.
 
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi Rp112,2 triliun atau 0,5 persen dari GDP pada 2023 akibat krisis perubahan iklim. Tanda-tanda terjadinya krisis perubahan iklim bisa dilihat dari kenaikan emisi gas sebesar 4,3 persen dari 2010-2018, suhu udara yang naik 0.03 derajat celsius tiap tahun serta tinggi permukaan laut yang naik 0,8-1,2 cm.
 
“Pada 2030, Indonesia bisa kehilangan potensi ekonomi akibat krisis perubahan iklim sebesar 0,6-3,45 persen dari GDP. Salah satu institut di Swiss membuat laporan bahwa dunia akan kehilangan potensi ekonomi hingga 10 persen jika kesepakatan Paris Agreement untuk mencapai emisi nol pada 2050 tidak tercapai,” jelas Sri Mulyani di ajang HSBC Summit 2022: Powering the transition to net zero, Indonesia’s pathway for green recovery, Jakarta, Rabu, 14 September 2022.

Sri Mulyani menambahkan ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari pandemi Covid-19, antara lain semua negara harus saling bersinergi. Hal tersebut berlaku untuk perubahan iklim karena tidak ada satu negara pun yang tidak terkena dampaknya.
 
Pemerintah, kata Sri Mulyani, berkomitmen mengurangi emisi lewat kesepakatan Paris Agreement, yaitu menurunkan 29 persen emisi C02 dengan upaya sendiri, serta 41 persen CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.
 
“Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk tindakan mitigasi dari perubahan iklim. Tapi untuk mencapai target tersebut perlu sumber dana yang besar, yaitu sekitar Rp3.461 triliun atau Rp266 triliun per tahun," ujar dia.
 
Sedangkan, kata Sri Mulyani, APBN hanya mengalokasikan Rp89,6 triliun per tahun atau 3,6 persen dari total pengeluaran pemerintah. Untuk bisa mencapai target pembangunan rendah karbon dan nol emisi, perlu bantuan daru banyak pihak.
 
Namun, proses transisi tidak mudah dan akan ada banyak implikasi. Sri Mulyani mengatakan di negara lain, proses transisi ke ekonomi hijau menghadapi banyak tantangan khususnya di sektor energi.
 
“Transisi bisa menimbulkan biaya hidup yang meningkat di tahap awal. Ini semakin menantang ketika ekonomi global tengah menghadapi laju inflasi yang tinggi dan juga masih rentan setelah bangkit dari pandemi serta memunculkan sejumlah pilihan politik yang tidak mudah,” jelas Sri Mulyani.
 
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah melalui kebijakan fiskal terus mendukung inisiatif transisi energi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengumumkan di acara CO26 di Glasgow tentang bagaimana Indonesia terus melanjutkan upaya mencapai emisi nol dengan meluncurkan mekanisme transisi energi. 
 
Selain itu, Indonesia sudah meluncurkan platform mekanisme transisi energi di pertemuan menteri keuangan G20, Juli lalu.
 

Baca: Airlangga: Swasta Berperan Penting Wujudkan Ekonomi Lebih Baik


Sementara itu, Presiden Direktur HSBC Indonesia Francois de Maricourt mengatakan HSBC berkomitmen penuh mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan.
 
“Kami sangat senang bahwa transisi energi menjadi salah satu priorotas pemerintah Indonesia pada Presidensi G20. Kami juga mendukung sejumlah inisiatif dan juga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat transisi pembangunan yang rendah karbon,” kata Francois.
 
Francois mengatakan diperlukan modal yang besar untuk mempercepat transisi energi. Tidak hanya meningkatkan investasi di sektor teknologi yang rendah karbon, tetapi juga memberikan insentif ke sektor lain agar bisa menjadi lebih hijau dengan biaya yang tidak mahal.
 
Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN.
 
Oleh karena itu, kata Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta, negara, serta aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
 
“Transisi pembiayaan harus dipimpin pemerintah difasilitasi oleh bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil. Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” ujar Francois.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan