"Jadi sebenarnya KPK sudah melakukan kajian terkait dengan masalah cukai tembakau ini sudah lama, sejak 2010 kita soroti masalah regulasi penetapan tarif cukai yang memang selalu kompleks," ujar Niken kepada wartawan, Rabu, 16 September 2020.
Niken menjelaskan dalam kajian KPK, struktur tarif cukai tembakau terlalu kompleks dengan banyaknya layer, golongan, jenis rokok, dan jumlah produksi. Menurutnya, dengan struktur tarif cukai yang kompleks tersebut, ada risiko perusahaan rokok membalikkan tarif cukai.
"Memang kita sudah melihat bahwa banyak pengusaha yang mencari celah dari regulasi tersebut, misalnya perusahaan berupaya agar jumlah produksinya tidak melebihi plafon sehingga tarifnya lebih rendah," ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah menerapkan sistem tarif cukai yang lebih sederhana dan transparan. KPK menyoroti kecenderungan perusahaan yang berupaya untuk menghindari tarif cukai yang tinggi dengan cara membuat perusahaan baru, namun sebenarnya memiliki afiliasi yang sama.
"Kita merekomendasikan ke Bea Cukai supaya penarikannya itu dibuat berdasarkan volume atau jumlah produksi rokok di satu perusahaan tersebut, intinya di-review kembali dan disederhanakan," jelas dia.
Dalam penetapan kebijakan struktur tarif cukai, KPK mendorong agar sistem corruption impact assessment diterapkan, sehingga akan transparan dan terimplementasi regulasinya. Namun, pihaknya memaklumi bahwa penetapan struktur tarif cukai melibatkan banyak pemangku kepentingan sehingga banyak pertimbangan.
"Kami meminta pemerintah untuk melakukan mitigasi risiko dari regulasi yang ditetapkan. Jadi kalau misalnya ada satu regulasi yang keluar, harus dimitigasi kebocorannya. Regulasi yang ditetapkan sebaiknya menjamin penerimaan negara, menjamin kebocoran rendah, dan menjamin kepatuhan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News