Kesiapan tersebut dipertanyakan oleh anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Gerindra Moreno Soeprapto. Hal ini dikarenakan sebagian besar kilang BBM milik Pertamina hanya bisa mengolah produk-produk BBM kualitas rendah atau masih EURO II, seperti premium.
"Kalau digeser ke pertamax bagaimana dengan produksi kilang kita? Karena setahu saya produksi kilang kita mayoritas dari premium. Dengan adanya pergeseran itu akan ditambah lagi, diisi lagi dengan impor?" kata Moreno dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 2 September 2020.
Senada, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan Dony Maryadi Oekon menyebut pengembangan kilang Pertamina belum dapat berjalan sesuai rencana. Ia tak ingin ketika premium dihapuskan malah akan menambah beban impor BBM.
Karena itu, ia meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan aturan standarisasi penggunaan BBM minimal dengan Research Octane Number (RON) 91 agar implementasi aturan tersebut dapat ditunda demi menekan biaya impor.
"Kalau ini belum siap dan harus impor, kita minta KLHK untuk menunda, jangan dulu dilakukan seperti itu, karena program pengembangan kilang Pertamina yang targetnya semua kita sudah running di 2024, sampai hari ini belum berjalan sesuai rencana," ujar Dony.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya telah mengeluarkan aturan berupa Permen LHK Nomor 20 Tahun 2017 yang mensyaratkan gasoline yang dijual minimum harus memiliki nilai RON 91.
Dalam gasoline, produk yang dijual Pertamina, Nicke mengatakan masih ada dua jenis BBM yang RON-nya masih berada di bawah RON 91. Ia menyebutkan yani premium dengan RON 88 dan Pertalite dengan RON 90.
"Artinya ada dua produk yang kemudian tidak boleh lagi dijual di pasar kalau mengikuti aturan tersebut yaitu premium dan pertalite," kata Nicke.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News