Kedua faktor tersebut dinilai dapat mempercepat harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merealisasikan program hilirisasi yang terus digalakkan dan akan meluas ke material bauksit dan tembaga.
"Roadmap hilirisasi yang dicanangkan pemerintah hingga sejauh ini sudah berjalan baik, tetapi kami pengusaha masih membutuhkan dukungan pemerintah terutama untuk akses permodalan," kata Direktur Utama PT Ceria Nugraha Indotama Derian Sakmiwata dalam keterangan tertulis, Kamis, 6 April 2023.
Lebih lanjut disampaikan, pemerintah menyadari keberadaan perusahaan smelter nikel saat ini terlampau banyak. Oleh karenanya, dibutuhkan pengawasan pemerintah agar izin usaha yang telah diberikan tidak sia-sia atau justru malah menimbulkan permasalahan baru karena berebut bahan baku.
"Bapak Presiden kemarin telah menyampaikan program hilirisasi ini direspons baik oleh pengusaha sehingga minatnya begitu tinggi. Namun demikian hal ini perlu diawasi agar industri pengolahan nikel tetap kondusif dan persaingannya sehat," paparnya.
Lebih dari 50 smelter sudah berproduksi
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sudah ada lebih dari 50 smelter yang berproduksi. Bahkan, ada sebanyak 27 smelter lain yang rencananya akan segera dibangun.
Ceria sendiri merupakan salah satu perusahaan yang memiliki smelter di Sulawesi Tenggara. Saat ini perusahaan tengah membangun secara bertahap empat line smelter dengan target total produksi hingga 250 ribu ton feronikel dengan kandungan nikel 22 persen di dalamnya.
"Dengan sumber daya 17,68 miliar ton dan cadangan 5,2 miliar ton nikel di Tanah Air, kami berharap potensi ini dapat termanfaatkan dengan baik. Pengawasan terhadap pemanfaatan bahan baku menjadi penting karena penambahan jumlah pemain smelter berimplikasi pada peningkatan kebutuhan bahan baku, jangan sampai hal ini menjadi bumerang seperti yang dikhawatirkan Bapak Presiden Jokowi," tambah dia.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Jadi Ceruk Bisnis Menggiurkan |
Pakai teknologi canggih
Selain mengembangkan smelter RKEF yang menggunakan prinsip teknologi pirometalurgi, dalam proses produksinya, Ceria akan menggunakan teknologi hidrometalurgi (HPAL) untuk mengolah bijih nikel kadar rendah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan baku baterai listrik.
Aplikasi teknologi ini memiliki skala keekonomian yang lebih besar sehingga lebih mahal dibandingkan dengan investasi teknologi pirometalurgi, dengan demikian akan dibutuhkan modal besar untuk mempercepat realisasi pembangunannya.
"Ceria akan membangun pabrik HPAL dengan teknologi hidrometalurgi melalui dua tahap pengembangan dengan total kapasitas produksi sebesar 290 ribu ton mixed hydroxide precipitate (MHP) dengan kandungan nikel 108 ribu ton di dalamnya dan 11 ribu ton cobalt, nikel dan cobalt termasuk material kritis untuk memproduksi baterai."
"Untuk menyelesaikan seluruh tahapan pembangunan smelter RKEF dan HPAL ini serta meningkatkan produksi, dibutuhkan modal yang besar sehingga dukungan perbankan sangat berarti," tutup Derian.
*Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id*
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News