Ilustrasi. Foto: Medcom.id
Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Pemerintah Diminta Tindak Tegas Perusahaan yang Melanggar Kebijakan Harga Rokok

Eko Nordiansyah • 05 April 2021 19:46
Jakarta: Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat Indonesia masih dibayangi berbagai kendala. Dengan prevalensi perokok anak yang meningkat setiap tahun, masalah pengendalian tembakau menjadi beban khususnya saat Indonesia masih belum pulih dari pandemi covid-19.
 
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan, keprihatinan atas pengendalian tembakau yang masih belum maksimal. Ia menyebut pengendalian tembakau juga sulit terjadi karena adanya pelanggaran harga dalam penjualan rokok di pasar sehingga masih terjangkau bagi masyarakat.
 
"Kita sangat prihatin selama satu tahun pandemi covid-19 ini, belum terlihat penguatan pengendalian rokoknya. Kita mengajak konsumen untuk lebih cerdas agar tidak membelanjakan uangnya untuk produk yang destruktif seperti rokok," kata dia dalam keterangan resminya, Senin, 5 April 2021.

Ia berharap pemerintah khususnya pemerintah daerah (pemda) harus ikut bertindak tegas soal pelanggaran harga rokok. Terlebih dengan meningkatnya risiko kesehatan akibat covid-19, pemda seharusnya bisa ikut melindungi masyarakat dengan tidak membiarkan harga rokok murah beredar di pasaran.
 
"Harusnya pemda-pemda ikut melindungi rakyatnya bahwa harga rokok yang makin murah justru meracuni rakyat di daerahnya dan meningkatkan risiko sakit masa depan dan juga covid-19, jangan pula pemda membiarkan perusahaan atau pedagang memberikan kemudahan," ungkapnya.
 
Analis Kebijakan Madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Rama Prima Syahti Fauzi sebelumnya mengatakan, apabila pengendalian konsumsi tembakau diabaikan, perokok anak dapat mencapai 30 persen. Salah satunya diperlukan pengendalian harga rokok.
 
"Harga rokok yang tetap terjangkau atau murah menyebabkan pengendalian konsumsi jadi tidak optimal. Ada ketidaksesuaian harga jual eceran dengan harga transaksi pasar," ujarnya.
 
Ketidaksesuaian harga jual eceran (HJE) dan harga transaksi pasar (HTP) ini terjadi karena masih banyak ditemukan produk rokok dijual di bawah harga yang sudah ditetapkan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 menyebutkan bahwa pabrikan harusnya menjual produknya sebatas 85 persen HJE atau tidak boleh lebih rendah.
 
"Dampak tidak sesuainya HTP ini menyebabkan harga rokok tetap terjangkau dan pengendalian konsumsi tidak optimal. Pengawasan harus diperketat karena tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang melanggar," lanjut dia.
 
Peneliti Center of Human And Economic Development (CHED) Institut Teknologi Dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta Adi Musharianto mengatakan bahwa fakta ketidaksesuaian HJE dan HTP di pasaran memang terjadi. Pasalnya perusahaan menekan margin untuk menjual produknya di bawah harga banderol.
 
"Kalau kita lihat harga rokok, faktanya HTP justru diatur kurang dari harga banderol. Ambil contoh sigaret putih mesin (SPM) harga banderolnya Rp35.800 tetapi di pasar dijual Rp29 ribu (81 persen). Jadi melanggar ketentuan HTP. Faktanya perusahaan menekan HTP di bawah 85 persen, dampaknya itu terhadap margin tenaga kerja, price predatory, dan prevalensi perokok,” ujar dia.
 
Untuk itu, ia merekomendasikan agar aturan mengenai HTP seharusnya dibuatkan roadmap dan sanksi yang tegas apabila ada pelanggaran. Termasuk ketika terdapat kontradiksi kebijakan, sebaiknya aturan tersebut ditinjau lagi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan