Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT) PLN Wiluyo Kusdwiharto mengatakan pencapaian tersebut menjadi bukti keseriusan PLN dalam mendukung program transisi energi bersih menuju carbon neutral pada 2060 dan juga menjadi komitmen Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
"Pengunaan teknologi co-firing di PLTU merupakan salah satu upaya kami dalam mengurangi emisi di sektor kelistrikan, di samping menambah pembangkit baru yang berasal dari energi baru terbarukan," kata Wiluyo dalam keteranngan resmi, Rabu, 30 Maret 2022.
PLN telah menggunakan teknologi co-firing sejak 2020. Sebanyak 28 PLTU yang sudah menerapkan co-firing ini, di antaranya adalah PLTU Suralaya dan PLTU Paiton, yang merupakan backbone kelistrikan Jawa dan Bali.
Pembangkit-pembangkit tersebut memanfaatkan limbah serbuk kayu atau sawdust, woodchip, dan SRF (solid recovered fuel, berasal dari sampah) sebagai pengganti batu bara untuk bahan bakar. Hingga Februari 2022, kebutuhan biomassa untuk bahan bakar PLTU mencapai 89.111 ton.
Sepanjang 2021, total emisi karbon yang berhasil ditekan melalui co-firing ini sebesar 268 ribu ton Co2. "Sementara pada Januari-Februari 2022, angka penurunan emisinya sekitar 96 ribu ton Co2," ungkap dia.
Wiluyo juga menuturkan, teknologi co-firing ini dilakukan PLN bukan sekadar mengurangi emisi. Tetapi juga memberdayakan masyarakat. Teknologi co-firing mengajak masyarakat terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa bahkan ada pula yang mengelola sampah rumah tangga wilayahnya untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing.
"Teknologi ini bukan hanya sekadar pengurangan emisi, tetapi ada unsur ekonomi sirkular yang mengolah limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan meningkatkan efisiensi," ucapnya.
Co-firing ini juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.
"Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU PLN untuk co-firing atau ekivalen sekitar 2.700 MW," ujarnya.
Willy juga mentampaikan, program co-firing ini akan terus dilakukan PLN di 52 titik PLTU. Adapun, untuk bisa memastikan pasokan co-firing ini, secara jangka panjang PLN juga melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PTPN. Hingga 2025, PLN membutuhkan kurang lebih 10,2 juta ton biomassa untuk menjadi substitusi 10 persen kebutuhan batu bara di PLTU.
Melalui kerja sama dengan sesama BUMN ini, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa. Untuk pilot project, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun.
Sedangkan untuk PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal dan PTPN Group mengestimasikan dapat menyuplai 500 ribu ton tandan kosong segar kepada PLN dan angka tersebut dapat berkembang hingga 750 ribu ton tankos segar per tahun pada 2024 sesuai dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) PTPN Group.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News