"Dalam situasi normal, konfigurasi mega investasi petrokimia terintegrasi yang begitu kompleks memerlukan waktu konstruksi antara 5-8 tahun. Akibat dampak pandemi covid-19, masa konstruksi diperkirakan lebih lama," kata Ketua Inaplas Suhat Miyarso dikutip dari Antara, Senin, 8 Februari 2021.
Hal tersebut karena mobilisasi ribuan pekerja konstruksi dalam satu wilayah yang sama tidak sesuai dengan protokol keselamatan dan pandemi menyebabkan rencana Final Investment Decision (FID) dari beberapa mega proyek tersebut mundur akibat kejutan yang terjadi pada industri petrokimia.
Industri petrokimia berencana membangun mega proyek petrokimia antara lain PT Lotte Chemicals membangun satu juta ton ethilin, 500 ribu propilen, 250 ribu ton High Density Polyethylene (HDPE), 400 ribu ton polipropilen.
Kemudian,PT Chandra Asri Petrochemical Tbk membangun 1.050 ribu ton etilen, 585 ribu ton propilen, 750 ribu ton HDPE, 450 ribu ton dan LDPE 300 ribu ton, 450 ribu ton polipropilen, 460 ribu ton pygas, 400 ribu ton crude C4, dan 160 ribu ton butadin. Selain itu, PT Pertamina (Persero) akan membangun naphta cracker dengan kapasitas satu juta ton etilen di Tuban.
Kemudian PT Nippon Shokubai Indonesia memperluas 100 ribu ton acrylic acid dan 60 ribu ton super absorben polimer, PT Asahi Chemicals memperluas 200 ribu ton polyvinyl chloride; PT IPC memperluas 20 ribu ton PET, serta PT Sulfindo menambah 290 ribu ton VCM, dan 250 ribu ton PVC.
"Selain hambatan dari situasi pandemi, mega proyek tersebut juga berpotensi terkendala oleh regulasi masa kredit PPN Indonesia yang terlampau pendek. Berdasarkan PMK Nomor 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama tiga tahun, dengan tambahan maksimal dua tahun," ungkap Suhat.
Pendeknya masa kredit PPN tersebut menyebabkan mayoritas mega proyek petrokimia tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan (Input Tax) terhadap belanja modal (capital expenditure/capex), yang justru banyak dibelanjakan mendekati akhir masa konstruksi.
Hal ini berimplikasi terhadap tingginya biaya modal pembangunan mega proyek petrokimia di Indonesia, karena PPN 10 persen yang tidak dapat dikreditkan akhirnya menjadi biaya modal.
Sebagai gambaran mega proyek petrokimia terintegrasi dengan ethylene cracker kapasitas satu juta ton per tahun memiliki capex USD5 miliar. Dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai USD500 juta atau Rp7 triliun di luar biaya modal lainnya.
Sedangkan di Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi megaproyek petrokimia.
"Kami mengapresiasi berbagai dukungan dan respons cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ujar Suhat.
UU ini sebenarnya telah mengakomodir dalam pasal 9 ayat 6(c), bahwa sektor usaha tertentu dapat memiliki masa kredit lebih dari tiga tahun. Namun, karena Indonesia terakhir memiliki mega proyek petrokimia kurang lebih 30 tahun yang lalu, bisa jadi pemangku kepentingan tidak menyadari bahwa ada megaproyek strategis yang membutuhkan masa kredit PPN hingga 15 tahun.
"Dengan demikian, kami mengingatkan dan memohon perhatian kepada pemangku kepentingan agar dapat mengakomodir hal ini dalam regulasi yang sesuai perundang-undangan," tutup Suhat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News