"Perusahaan juga semakin berlanjut dengan mendapat kepercayaan lebih dari 300 kreditur di dalam dan luar negeri," kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio, dilansir dari Antara, Minggu, 16 Oktober 2022.
Hal tersebut disampaikan Prasetio saat Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengukuhkannya sebagai 'Profesor Kehormatan Bidang Ilmu Hukum Bisnis' di Fakultas Hukum (FH) UNS dengan Sidang Terbuka Senat Akademik yang diselenggarakan di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS.
Capaian yang diraih merupakan wujud komitmennya terhadap praktik Business Judgement Rule (BJR), sebagai bidang ilmu yang telah ditekuninya selama lebih dari 20 tahun terakhir. BJR merupakan prinsip atau doktrin yang terdapat dalam hukum perusahaan yang bertujuan melindungi kebijakan atau keputusan bisnis yang diambil direksi atas nama perseroan terbatas.
Baca: Jaga Harga Komoditas, Pemerintah Salurkan Distribusi Pangan ke Wilayah Defisit |
Dikatakan Presetio, tidak hanya itu, keberhasilan Garuda Indonesia memperoleh pengurangan utang dari USD10,1 miliar menjadi USD5,1 miliar juga membuat neraca perusahaan tersebut lebih sehat bagi pertumbuhan berkelanjutan di masa mendatang.
Usai homologasi, lanjutnya, Garuda Indonesia dapat membukukan laba bersih USD3,76 miliar di mana perolehan laba bersih tersebut dikontribusikan dari hasil restrukturisasi keuangan melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dicatatkan melalui laba buku perusahaan, sehingga saat ini Garuda Indonesia memiliki solvabilitas yang lebih kuat .
Dalam pandangan akademisnya, terhadap prinsip dasar praktik BJR khususnya melalui proses rekstrukturisasi kinerja usaha, Prasetio menilai terdapat empat fundamental penting yang perlu diperhatikan, pertama Good Faith, Best Interest, dan Prudentiality. Kedua menghindari kerugian yang lebih besar. Ketiga menghindari pelampauan kewenangan. Keempat kepatuhan.
Dia melihat penting bagi praktisi bisnis dan sektor riil khususnya level eksekutif manajemen BUMN untuk memiliki kapabilitas BJR yang baik. Hal ini erat kaitannya dengan masih lemahnya pemahaman atas BJR yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya kajian atau justifikasi tertulis sebelum pengambilan keputusan.
Di samping itu adanya potensi pelampauan kewenangan hingga masih terdapat potensi terjadinya kepentingan pribadi juga merupakan penyebab BJR tidak dapat terimplementasi dengan optimal.
"Saya meyakini pemahaman terhadap BJR yang baik, akan menjadi pondasi penting terhadap akselerasi kinerja sebuah perusahaan, khususnya entitas BUMN," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News