"Artinya, prioritas utama adalah harus ada jaminan atau kepastian dari pemerintah melindungi kesejahteraan ribuan pekerja yang terkena dampak dari keputusan pailit ini," tegas Hardjuno, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 31 Oktober 2024.
Kandidat Doktor Bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini pun mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan empat menterinya untuk mendampingi perusahaan tersebut.
Dalam hal ini, menurut dia, keputusan pailit dari Pengadilan Niaga masih terbuka untuk kasasi dan peninjauan kembali, sehingga status hukumnya belum final dan memungkinkan adanya opsi restrukturisasi yang lebih baik.
"Di dalam proses restrukturisasi, kata kuncinya adalah bagaimana menjaga keberlanjutan usaha Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, bukan hanya Sritex," terang dia.
Sebab, jelas Hardjuno, banyak pabrik tekstil lain juga mengalami tekanan serupa akibat utang besar dan persaingan ketat, terutama dari impor produk tekstil murah dari Tiongkok. Kasus Sritex memang menjadi contoh besar, tetapi pabrik-pabrik skala kecil hingga menengah pun kini menghadapi ancaman serupa.
Namun solusi yang diambil perlu menghindari bailout langsung dari negara, karena proses pertanggungjawaban dana publik dalam bailout akan menjadi sangat rumit.
Solusi yang lebih efektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum adalah dengan mendukung penerbitan obligasi atau saham baru. Ini tidak hanya dapat memberikan modal tambahan bagi Sritex untuk membayar utang, tetapi juga mengurangi beban langsung negara.
"Selain itu, penting untuk memperkuat industri tekstil nasional agar mampu bersaing di tengah tekanan impor. Langkah ini bisa mencakup kebijakan perdagangan yang lebih ketat dan dukungan pada industri dalam negeri melalui insentif atau perlindungan tarif bagi produk lokal," ucap Hardjuno mengingatkan.
Baca juga: Pengamat Apresiasi Respons Cepat Wamenaker atas Perintah Prabowo Selamatkan Pekerja Sritex |
Restrukturisasi utang secara transparan dan efektif
Mengenai piutang bank-bank BUMN di PT Sritex, jelas Hardjuno, pendekatan utama yang perlu dipertimbangkan adalah restrukturisasi utang secara transparan dan efektif.
Saat ini, utang yang cukup besar dari Sritex ke sejumlah bank BUMN, seperti BNI (senilai USD23,8 juta) dan bank pembangunan daerah, mencerminkan risiko signifikan terhadap stabilitas aset bank tersebut.
"Maka, penting bagi pemerintah dan pihak bank untuk melakukan pendekatan yang hati-hati agar dana publik yang digunakan bank-bank BUMN ini tidak hilang," papar dia.
Solusi yang dapat dilakukan adalah, seperti yang diungkapkan oleh para menteri kabinet Prabowo, penjadwalan ulang pembayaran atau restrukturisasi persyaratan kredit untuk mengurangi tekanan langsung pada arus kas Sritex.
Namun di sisi lain, jika restrukturisasi menyulitkan, penjualan aset non-inti Sritex bisa menjadi pilihan untuk melunasi sebagian kewajiban kepada kreditur, termasuk bank BUMN.
Sementara itu, dukungan pemerintah dalam memperkuat dasar hukum restrukturisasi utang sangat diperlukan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan jaminan bahwa bank tidak merugi dalam jangka panjang dan menstabilkan sektor tekstil agar tidak terjadi pengurangan drastis pada jumlah pemain industri lokal.
"Dengan pendekatan seperti ini, bank-bank BUMN dapat mengurangi risiko kerugian piutang secara bertahap, sembari tetap mendukung pemulihan ekonomi dalam sektor TPT yang penting bagi perekonomian nasional. Dukungan fiskal juga sangat penting untuk menyelamatkan industri tekstil tanah air," tutup Hardjuno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News