Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Erizal Jamal menjelaskan, subtansi umum dalam UU ini adalah mempermudah aturan lama menjadi aturan baru yang bisa diakses oleh semua pihak. Termasuk para petani yang ingin memulai usaha kecil dan menengah.
"Jadi regulasi yang tadinya tumpang tindih sudah disederhanakan. Perizinan yang rumit juga sudah dipermudahkan. Kenapa? Karena kewenangan di daerah baik kota maupun kabupaten sudah masuk satu sistem di pemerintah pusat," kata Erizal, dikutip keterangan tertulis, Sabtu, 24 Oktober 2020.
UU Cipta Kerja bahkan mengatur konsekuensi kebijakan impor yang harus berorientasikan pada kepentingan petani. Kesejahteraan petani kini lebih diperhatikan melalui UU ini.
"Ketentuan impor pada pasal 14 harus memperhatikan kepentingan petani. Kan sejauh ini seolah-olah kami dianggap berpihak pada impor," katanya.
Padahal, UU ini sudah sejalan dengan visi Presiden Jokowi, yakni membuka akses lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia.
"Kalau kita lihat lima visi Presiden Jokowi, di antaranya adalah Indonesia akan membuka diri untuk investasi dalam upaya membuka lapangan kerja secara luas," katanya.
Sebelumnya, Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster pertanian sempat menimbulkan polemik di kalangan pengamat karena dianggap berpotensi memperluas impor pangan. Padahal, hingga saat ini, prioritas utama dalam memenuhi kebutuhan pangan adalah produksi dalam negeri yang sejalan dengan rumusan UU Pangan Pasal 3.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa, pemenuhan kebutuhan pangan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dengan basis itu maka pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri tetap mengutamakan produksi dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News