"Dengan kenaikan ini, diperkirakan Pertamina Patra Niaga mengalami kerugian pada penjualan elpiji 12 kg dan 5,5 kg sebesar kurang lebih Rp5.000 per kg atau sekitar Rp291 miliar per bulan dengan volume elpiji sekitar 58,3 ribu MT per bulan," kata Pengamat energi Sofyano Zakaria dalam keterangan resminya, Senin, 13 Desember 2021.
Ia menyebut, penyediaan dan pendistribusian elpiji nonsubsidi yang telah dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga yang pada dasarnya bukanlah BUMN sangatlah janggal dan aneh jika terus melangsungkan bisnis yang jelas menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Kecuali jika perusahaan adalah BUMN.
Dengan telah ditetapkannya Patra Niaga sebagai sub holdingnya Pertamina, Sofyano mengatakan, menurut ketentuan UU Patra Niaga bukanlah BUMN. Oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi Patra Niaga untuk melakukan melanjutkan bisnis yang membuat rugi perusahaannya.
"Dengan status PT Pertamina Patra Niaga yang bukanlah BUMN maka jika Patra Niaga tetap melanjutkan bisnis non subsidi dengan alami kerugian. Ini harusnya bisa dipermasalahkan oleh Pertamina selaku holdingnya Patra Niaga," ungkap dia.
Mengingat elpiji nonsubsidi tabung 12 kg dan 5,5 kg jumlah penggunaannya hanya sekitar 700 ribu MT per tahun atau sekitar 58,3 ribu MT per bulan atau hanya sekitar 7,5 persen dari total volume penggunaan elpiji secara nasional. Selain itu, pengguna elpiji ini juga adalah golongan mampu, maka tidak ada salahnya mereka menaikkan harga.
"Kenaikan harga jual elpiji nonsubsidi sangat bijak jika dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama misalnya sebesar Rp2.000 per kg. Namun Patra Niaga harus menjamin kenaikan harga pada masyarakat tidak lebih dari itu," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News