SVP Exploration Division MIND ID Wahyu Sunyoto mengatakan terakhir kali investasi yang digunakan untuk eksplorasi besar-besaran di Indonesia pada 2012. Setelahnya, nyaris kegiatan eksplorasi skalanya menciut. Menurunnya gairah eksplorasi disebabkan oleh ketidakpastian hukum yang membuat iklim investasi di sektor pertambangan tidak lagi menarik.
Padahal, lanjutnya, sebetulnya masih banyak potensi lahan tambang di Tanah Air yang bisa digarap. "Kendalanya yang berhubungan dengan aturan dan juga ketidakpastian investasi di pertambangan," kata Wahyu, dalam workshop industri pertambangan, Kamis, 22 Oktober 2020.
Dalam UU Minerba yang lama, kata Wahyu, misalnya, disikapi negatif oleh investor sebab tidak memberikan akses pendanaan. Hal ini membuat anggaran eksplorasi dari tahun ke tahun menurun.
"Kira-kira ada USD30 miliar berasal dari pasar modal dan enggak ada satupun yang masuk ke Indonesia. Investor akan masuk berduyun-duyun ke negara yang memberikan akses pendanaan," tutur dia.
Senada, General Manager Unit Geomin dan Technology Development PT Aneka Tambang Tbk (Antam) Tri Hartono mengatakan regulasi amat sangat berkaitan dengan kegiatan eksplorasi. Selain itu tumpang tindih tata guna lahan kehutanan juga menjadi hambatan.
"Kalau kita bicara Antam saja punya tujuh IUP semuanya di kawasan hutan. Itu jadi salah satu penghambat," ujar Tri.
Tri menilai perlu adanya dorongan dari pemerintah agar para pelaku usaha dan investor di dunia tambang mengalokasikan sebagian dari pendapatannya untuk dana eksplorasi.
"Masing-masing perusahaan harus ada ratio revenue dan biaya eksplorasi. Saya pikir kalau diterapkan dengan baik apakah 2-3 persen dari revenue untuk eksplorasi ini akan jadi pendorong buat eksplorasi," pungkas Tri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News