Ilustrasi ketahanan energi. Foto: Koaksi Indonesia.
Ilustrasi ketahanan energi. Foto: Koaksi Indonesia.

Bangun Kemandirian Energi Demi Kemakmuran yang Merata

Husen Miftahudin • 18 Januari 2024 12:15
Jakarta: Upaya membangun kemandirian dan keberlanjutan energi harus diwujudkan di tengah dinamika ketersediaan sumber mineral dan energi di Tanah Air, demi kemakmuran yang merata.
 
"Pada periode transisi energi saat ini, kita harus berkomitmen penuh mengurangi dampak perubahan iklim dan menjamin pelestarian lingkungan yang mampu mendukung ketahanan energi yang kita miliki," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Ketahanan Energi Indonesia Menuju 2045 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 18 Januari 2024.
 
Menurut Lestari, sesuai amanat konstitusi, implikasi perlindungan negara juga termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang secara khusus tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, terkait kekayaan alam yang dikelola negara harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dalam konteks itu, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pengelolaan sumber daya alam dan mineral di Indonesia selain menjamin ketahanan energi juga mesti menunjang kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
 
Per November 2023, Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan ketahanan energi nasional Indonesia berada pada angka 6,57, termasuk dalam kategori tahan. Di sisi lain, ujarnya, mengutip World Energy Outlook 2024, konsumsi energi global akan meningkat sebesar 1,8 persen karena permintaan besar dari pasar Asia.
 
"Bagaimana dengan kategori tahan itu kita mampu mengantisipasi peningkatan konsumsi energi dan dinamika di sejumlah sektor," ujar Rerie.
 
Karena itu, tegas Rerie, tata kelola ketahanan energi Indonesia, di samping dapat memenuhi kebutuhan domestik, juga harus mampu memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
 
Seiring dengan perubahan maupun ketidakpastian dunia, menurut Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, dibutuhkan perbaikan terkait inovasi kebijakan yang terintegrasi, sehingga dapat membantu mengembangkan sistem ketahanan energi yang efektif, efisien dan transparan.
 

Tingkatkan energy security


Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan Indonesia perlu terus meningkatkan energy security, sekaligus harus bersiap menghadapi gejolak ketersediaan energi. Kebijakan energi yang tepat, ujar Sugeng, sangat diperlukan agar negara mampu merealisasikan ketersediaan energi dari sisi keterjangkauan harga dan mudah diperoleh.
 
Menurut dia, energy security untuk bahan bakar minyak (BBM) saat ini sekitar 20 hari. Sedangkan di sejumlah negara energy security-nya sudah mencapai dua hingga tiga bulan. Padahal, ungkap dia, konsumsi migas secara nasional saat ini 1,4 juta barel per hari.
 
Di sisi lain, Sugeng juga menegaskan, Indonesia juga berkomitmen untuk merealisasikan net zero emission dengan terus berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Diakui Sugeng, energi yang bersumber dari fosil sudah menjadi masalah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak beralih ke pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
 
Saat ini, Komisi VII DPR RI sedang memfinalisasi undang-undang energi baru terbarukan, merevisi undang-undang ketenagalistrikan dan menyusun rancangan undang-undang Migas. Secara umum, tegas Sugeng, paradigma kebijakan energi kita adalah melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil.
 
Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda C. Yusgiantoro mengungkapkan, saat ini ada empat megatren yang mempengaruhi dunia yaitu dampak ekonomi di Asia sangat luar biasa, persaingan dalam mengelola sumber daya alam, pemanfaatan teknologi, dan perubahan iklim.
 
Saat ini, terjadi tren peningkatan pemanasan global ketika terjadi peningkatan produksi CO2 yang menyebabkan suhu bumi naik. Diperkirakan, dari rentang waktu 2000-2100 bila tidak ada upaya apa pun, suhu bumi akan meningkat 2,9 derajat celsius.
 
Diakui Filda, progres realisasi SDGs sektor energi Indonesia stagnan, sehingga membutuhkan kualitas SDM yang lebih baik di sektor energi. Ia juga menilai, capaian bauran energi baru terbarukan di Indonesia masih jauh dari target. Pemanfaatan energi di Indonesia saat ini bersumber dari gas bumi (23 persen), batu bara (26 persen), minyak bumi (46 persen), dan energi baru terbarukan (lima persen).
 
"Tata kelola kebijakan energi memerlukan perubahan paradigma terkait kesadaran masyarakat dalam melakukan diversifikasi dan konversi energi," tegas Filda.
 
Baca juga: Pemerintah Tegaskan Komitmen untuk Pengembangan Energi Baru
 

Pemanfaatan energi baru terbarukan minim


Direktur Eksekutif Center for Energy Policy Muhammad Kholid Syeirazi mengungkapkan, pada rentang waktu 2000-2050 energi fosil masih dominan, masyarakat dunia ingin membalikkan dominasi itu dengan mengutamakan energi baru terbarukan.
 
Pemanfaatan energi baru terbarukan 23 persen pada 2025, menurut Kholid, adalah target yang mustahil diwujudkan. Karena, jelas dia, untuk merealisasikan transisi energi dibutuhkan sejumlah upaya antara lain pengembangan energi baru terbarukan, melakukan pensiun dini PLTU, pemanfaatan hidrogen.
 
Tantangan untuk mewujudkan transisi energi juga besar karena ketiadaan dana transisi, teknologi green energy mahal, harga jual produk green energy juga tinggi, dan ekosistem green energy juga belum memadai. Kholid mengusulkan adanya petroleum fund di luar APBN yang bisa dimanfaatkan untuk mendanai proses transisi dan diversifikasi ke energi hijau.
 
Anggota Dewan Pengarah BRIN Tri Mumpuni berpendapat bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau belajar dalam menyikapi pemanfaatan energi hijau. Sejak hampir 30 tahun lalu, ia sudah mengusulkan agar sebagian hasil dari penjualan bahan bakar fosil disisihkan untuk pengembangan energi hijau.
 
Praktik serupa, menurut Tri Mumpuni, sudah dipraktikkan oleh Tiongkok untuk mencari energi alternatif untuk mengganti energi fosil yang sudah menyusut. Selain mengupayakan transisi energi, Indonesia perlu meningkatkan kedaulatan energi. Dia menyarankan agar negara memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan potensi energi hijau.
 
Praktisi Migas Hadi Ismoyo berharap agar secepatnya RUU Migas menjadi undang-undang, agar menjadi dasar hukum bagi industri migas di tanah air. Untuk mengembalikan produksi migas satu juta barel per hari, menurut dia, perlu upaya eksplorasi harus ditingkatkan dan Pertamina seharusnya berada di garis depan dalam upaya tersebut.
 
"Pemerintah harus meningkatkan kapabilitas organisasi di sektor energi, karena kenyataannya masing-masing kementerian/lembaga terkesan memiliki agenda sendiri dalam menerapkan kebijakan," terang Hadi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(HUS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan