"Pelaku usaha tidak punya banyak alasan untuk menggenjot kinerja usaha (khususnya untuk pelaku usaha yang berorientasi pasar domestik), karena hampir bisa dipastikan bahwa dalam kondisi yang ada saat ini demand pasar secara agregat akan kontraksi secara signifikan karena pengetatan PPKM," ungkapnya dilansir dari Mediaindonesia.com, Selasa, 29 Juni 2021.
Shinta menegaskan bahwa syarat dan ketentuan dari kebijakan PPKM ketat sendiri tidak memungkinkan pelaku usaha khususnya yang berada di zona merah untuk memiliki kinerja yang maksimal. Padahal, menurut dia zona merah umumnya adalah sentra ekonomi dan pusat produksi nasional sehingga pelaku usaha tidak punya banyak opsi untuk mengupayakan normalisasi atau peningkatan kinerja pada kondisi ini.
Karenanya, strategi yang dilakukan pelaku usaha untuk menahan penurunan kinerja dalam kondisi ini sangat bergantung pada orientasi pasarnya dan jenis industrinya. Jika berorientasi ekspor, perusahaan dikatakan masih bisa mengatur strategi mempertahankan kinerja dengan cara shift work dan produksi 24 jam sesuai ketentuan protokol yang berlaku.
"Namun, untuk pelaku usaha berorientasi pasar domestik, strategi terbatas pada perubahan approach penjualan/marketing (dari offline ke online), transisi WFO-WFH (apabila kondisi industrinya memungkinkan), atau strategi alih produksi untuk mempertahankan kinerja dengan memaksimalkan demand pasar yang masih ada," tegas Shinta.
Menurut Shinta, dalam kondisi pembatasan seperti ini, kegiatan ekonomi hanya bisa disokong oleh pengeluaran atau belanja pemerintah karena pembatasan PPKM ini memberikan dampak yang sama dengan krisis ekonomi sistemik, di mana pasar, sektor riil dan investasi tidak dapat memiliki kinerja yang positif karena penurunan confidence terkait pandemi dan pembatasan yang dilakukan.
Ia pun menyarankan pemerintah kembali memberikan stimulus konsumsi atau buffer dalam bentuk social safety net, stimulus produktif idealnya dalam bentuk pelonggaran pemberian atau pencairan kredit kepada pelaku usaha sektor riil yang mengalami kontraksi, dan stimulus belanja pemerintah yang bersifat produktif idealnya belanja infrastruktur skala besar dalam jangka pendek-menengah untuk menstimulasi pergerakan ekonomi domestik hingga ekonomi pulih sepenuhnya.
"Tentu saja di luar stimulus-stimulus ini, penyebab utama krisis (penyebaran pandemi) harus dihilangkan secara paralel alam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kalau tidak, kerusakan sistematik pada ekonomi nasional akan terus terjadi dan beban stimulus-stimulus pemerintah menjadi membengkak karena harus digelontorkan lebih lama," ujar Shinta.
Selain itu, Shinta memandang bahwa stimulus-stimulus ideal ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menggelontorkan stimulus tersebut. Hal ini tentu tidak akan mudah karena kondisi utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia di akhir tahun lalu sudah naik hampir 10 persen dalam setahun karena beban menggelontorkan stimulus PEN (existing) sejak tahun lalu.
"Pemerintah juga harus memastikan kelancaran pemberian stimulus bansos kepada yang membutuhkan, agar kebutuhan social safety net masyarakat kelas menengah bawah bisa terpenuhi dan Indonesia tidak terganggu dengan potensi peningkatan konflik sosial/social unrest yang hanya akan semakin memperlambat upaya pemulihan ekonomi nasional," pungkas Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id