Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama Witjaksono berharap pemerintah meninjau ulang keputusan untuk melakukan impor garam. Ia meminta pemerintah berdiskusi kepada asosiasi terkait dan para nelayan dengan harapan para petani garam di Indonesia bisa meningkatkan kualitas garam sehingga tidak perlu ada impor.
"Hari ini kita tidak lagi berbicara tentang kualitas garam atau cuaca di Indonesia, mari kita bicara tentang keberpihakan pemerintah," kata Witjaksono, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 24 Maret 2021.
Ia menambahkan apabila disebagian wilayah memang kualitas produksi garam dianggap tidak memenuhi standar nasional Indonesia dengan kadar minimal KIO3 adalah 30 mg per kg atau kandungan NACL tidak memenuhi standar 97 persen sesuai PP No 9 Tahun 2018 atau kapasitas produksi yang terhalang cuaca disebagian daerah maka diharapkan ada pendampingan.
"Lalu mekanisasi dan pemanfaatan teknologi lebih lanjut kepada para petani kita," tuturnya.
Jika permasalahannya di harga yang lebih mahal daripada impor, lanjutnya, pemerintah perlu turun langsung dengan memberantas para mafia garam atau tengkulak nakal. Kemudian melakukan operasi pasar dan subsidi bisa juga menjadi opsi. Adapun data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2020 impor naik drastis setelah pertengahan tahun.
"Dalam kurs rupiah ke USD yakni Rp14 ribu maka harga pembelian kita dari luar negeri adalah berkisar di atas Rp1.000. Dari Tiongkok sendiri mencapai Rp1.500 per kg. Sedangkan hari ini harga di petani kita Rp100-Rp300 per kg," tuturnya.
Dengan dasar itu, ia menolak impor garam sejumlah tiga juta ton pada 2021. Ia juga mendesak pemerintah untuk berpihak pada petani garam dan masyarakat kecil, melakukan pendampingan, intensifikasi produksi, pembukaan lahan garam mencapai baru hingga 100 ribu hektare, alih kelola teknologi, mekanisasi, dan modernisasi pertanian garam.
"Serta memberantas mafia garam dan pencari rente impor garam. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menetapkan standar harga garam nasional minimal Rp700-Rp1.000 per kg," tegasnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengakui kebutuhan garam sektor industri masih perlu dipenuhi dari impor. Namun dalam pelaksanaan impor garam itu, dipastikan tetap melewati proses yang ketat, termasuk audit verifikasi kebutuhan garam oleh para pelaku industri.
"Penentuan angka impor garam sendiri telah melewati proses audit langsung ke industri penggunanya dan angkanya sudah sesuai dengan data BPS," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.
Agus menekankan pihaknya selalu mengevaluasi impor garam industri setiap periode tiga bulan. "Kebutuhan impor meningkat karena ada tambahan investasi pada industri pengguna garam. Selain itu, terdapat peningkatan kebutuhan dari industri yang sudah ada," tegasnya.
Ia menyampaikan bahwa total kebutuhan garam bagi sektor industri di 2021 mencapai sekitar 4,6 juta ton. Kebutuhan terbesar ada pada industri makanan dan minuman, industri farmasi, industri kimia, serta industri pulp dan kertas.
"Pemenuhan kebutuhan bahan baku dan bahan penolong garam impor mampu menciptakan nilai tambah bagi sektor-sektor tersebut," ucap dia.
Industri kimia misalnya, mengimpor garam senilai USD54,8 juta dan mampu menciptakan nilai tambah dalam bentuk ekspor senilai USD12,5 miliar. Begitu juga dengan industri makanan-minuman yang mengimpor garam senilai USD19,2 juta untuk bahan baku dan penolong industrinya dan mampu mengekspor produk sektornya senilai USD31,1 miliar.
Oleh karenanya, Agus menambahkan agar penyerapan garam rakyat dapat terus meningkat dan sektor industri mendapatkan jaminan pemenuhan bahan baku, perlu sinergi yang baik untuk meningkatkan kualitas garam produksi lokal.
"Ini adalah tugas lintas kementerian/lembaga untuk mendorong peningkatan kualitas garam lokal sehingga memenuhi standar kebutuhan industri," pungkas Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News