Jakarta: Peningkatan konsumsi garam himalaya disebut mengganggu serapan produk petani lokal. Garam impor tersebut semestinya hanya dijual untuk kelompok industri.
Ketua Asosiasi Petambak Garam Nusantara Achmad Solechan mengatakan produksi garam lokal selama ini untuk kebutuhan rumah tangga dan bisnis makanan.
Sementara garam impor penggunaannya diawasi ketat oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang tata cara pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman sebagai bahan baku dan bahan penolong industri.
"Keberadaan garam himalaya yang murni impor ini tentu saja akan mengganggu serapan garam lokal," kata Achmad kepada Medcom.id, Kamis, 23 Juli 2020.
Namun, keberadaan garam himalaya justru dipergunakan sebagai kebutuhan garam konsumsi. Karena itu, penjualan garam himalaya harus ditindak tegas oleh pemerintah.
"Garam himalaya sepenuhnya adalah garam impor, namanya juga himalaya. Garam ini untuk penggunaan terutama industri makanan minuman dan industri kimia, kami belum menerima datanya berapa besar," ungkapnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah melarang penjualan garam himalaya lantaran peredarannya tidak sesuai aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib. Produk sebanyak 2,5 ton milik sejumlah pelaku usaha telah ditarik dan dimusnahkan.
Berdasarkan penelusuran Medcom.id, produk garam himalaya yang berwarna merah muda itu mudah ditemui di sejumlah toko daring platform e-commerce dengan beragam kemasan. Harga jual per 500 gramnya berkisar antara Rp30 ribu sampai Rp50 ribu belum termasuk ongkos kirim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News